Tag: Abdullah bin Ummi Maktum

Abdullah bin Ummi Maktum Muadzin Rasul Yang Jarang Diketahui

Sebagian orang hanya mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memiliki satu orang muadzin, yaitu Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu. Padahal tidak hanya Bilal yang menjadi muadzin Rasulullah, ada nama lain yaitu Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu. Ketika kita sodorkan nama Abdullah bin Ummi Maktum, sebagian orang mungkin merasa asing, bahkan di antara mereka baru mendengar seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.

Kedua muadzin Rasulullah ini, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhuma, memiliki waktu khusus untuk mengumandangkan adzan. Bilal bin Rabah diperintahkan adzan pada waktu shalat tahajud –yang saat ini termasuk sunnah Nabi yang sudah jarang kita temui-, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum adzan pada saat datangnya waktu shalat subuh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ “

“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh).”

Latar Belakang

Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat senior Rasulullah, beliau termasuk di antara as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Ada yang mengatakan nama beliau adalah Umar, ada juga yang menyebut Amr, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan nama Abdullah.

Orang-orang Madinah mengenalnya dengan nama Abdullah, sedangkan orang-orang Irak menyebutnya Amr. Namun keduanya sepakat bahwa nasabnya adalah Ibnu Qays bin Za-idah bin al-Usham. Abdullah memiliki kedekatan nasab dengan Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Ibu dari Khadijah adalah saudaranya Qays bin Za-idah, ayah dari Abdullah.

Abdullah bin Ummi Maktum memiliki kekurangan fisik berupa kebutaan (tuna netra). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?” Ia menjawab, “Sejak kecil.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قال الله تبارك وتعالى: إذا ما أخذتُ كريمة عبدي لم أجِدْ له بها جزاءً إلا الجنة

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga.”

Saat Allah memerintahkan Rasul-Nya dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, maka Abdullah bin Ummi Maktum menjadi orang yang pertama-tama menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Walaupun ia memiliki kekurangan fisik, jarak antara Mekah dan Madinah yang jauh, sekitar 490 Km, ancaman dari orang-orang Quraisy, belum lagi bahaya dalam perjalanan, semua itu tidak menghalanginya untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.

Keistimewaan Abdullah bin Ummi Maktum

Selain memiliki keistimewaan sebagai seorang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Ummi Maktum juga merupakan orang kepercayaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat Rasulullah melakukan safar berangkat ke medan perang, beliau selalu mengankat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi wali Kota Madinah menggantikan beliau yang sedang bersafar. Setidaknya 13 kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai wali kota sementara di Kota Madinah.

Keistimewaan lainnya adalah Allah Ta’ala menjadi saksi bahwa Abdullah bin Ummi Maktum adalah seseorang yang sangat mencintai Alquran dan sunnah Nabi-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapat teguran dari Allah Ta’ala lantaran mengedepankan para pembesar Quraisy daripada Abdullah bin Ummi Maktum. Bukan karena tidak menghormati Abdullah bin Ummi Maktum, akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap kemaslahatan yang lebih besar –dalam pandangan beliau- apabila para pembesar Quraisy ini memeluk Islam, namun ternyata hal itu tidak tepat di sisi Allah dan Allah langsung meluruskan dan membimbing Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kisahnya adalah sebagai berikut:

Pada masa permulaan dakwah Islam di Mekah, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy, dengan harapan agar mereka mau menerima Islam. Suatu kali beliau bertatap muka dengan Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Khalid bin walid.

Rasulullah berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran.

Abdullah mengatakan, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda.”

Rasul yang mulia tidak memperdulikan permintaan Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau agak acuh kepada perkataan Abdullah itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah berharap, mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.

Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba-tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau,

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ [1] أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ [2] وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ [3] أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ [4] أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ [5] فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ [6] وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ [7] وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ [8] وَهُوَ يَخْشَىٰ [9] فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ [10] كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ [11] فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ [12] فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ [13] مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ [14] بِأَيْدِي سَفَرَةٍ [15] كِرَامٍ بَرَرَةٍ [16]

“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum.

Syahidnya Sang Muadzin

Pada tahun 14 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengadakan konfrontasi dengan Kerajaan Persia. Beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada para gubernurnya dengan mengatakan, “Jangan ada seorang pun yang ketinggalan dari orang-orang yang memiliki senjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepadaku sesegera mungkin!” Lalu berkumpullah kaum muslimin, tergabung dalam pasukan besar yang dipimpin oleh sahabat yang mulia, Saad bin Abi Waqqash. Di antara pasukan tersebut terdapat Abdullah bin Ummi Maktum.

Abdullah bin Ummi Maktum masuk ke dalam pasukan Perang Qadisiyah dengan mengenakan baju besinya, tampil gagah, dan bertugas memegang panji bendera Islam. Tidak membuatnya gentar suara di medan perang yang menderu, dentingan tebasan pedang, ataupun desiran anak panah yang melesat. Baginya Amirul Mukminin telah membuka kesempatan bagi semua orang dalam jihad ini, ia pun tak mau melewatkan peluang berjihad di jalan Allah, walaupun bahaya sebagai seorang tuna netra lebih berlipat ganda.

Perang yang hebat pun berkecamuk, hingga sampailah pada hari ketiga, baru kaum muslimin berhasil mengalahkan pasukan negara adidaya Persia. Kemenangan tersebut menjadi kemenangan terbesar dalam sejarah peperangan Islam sampai saat itu. Namun kemenangan tersebut juga harus dibayar dengan gugurnya para syuhada, para pahlawan Islam, di antara mereka adalah sahabat dan muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu. Jasadnya ditemukan terkapar di medan perang sambil memeluk bendera yang diamanatkan kepadanya untuk dijaga.

Akhirnya sang muadzin pulang ke rahmatullah, gugur sebagai pahlawan memerangi bangsa Majusi Persia. Semoga Allah Ta’ala menerima amalan-amalan Abdullah bin Ummi Maktum dan memasukkan kita dan beliau ke dalam surga Allah.

Baca Juga:

1. Mengenal Wanita Istimewa, Ummu Hani’ binti Abi Thalib

2. Jangan Menilai Seorang Dari Masalalunya

3. 3 Jenis Ziarah Kubur Yang Harus Anda Tahu

Kisah Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum, Sang Muadzin Rasulullah

Sebagian orang hanya mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memiliki satu orang muadzin, yaitu Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu. Padahal tidak hanya Bilal yang menjadi muadzin Rasulullah, ada nama lain yaitu Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu. Ketika kita sodorkan nama Abdullah bin Ummi Maktum, sebagian orang mungkin merasa asing, bahkan di antara mereka baru mendengar seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.

Kedua muadzin Rasulullah ini, Bilal bin Rabah dan Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhuma, memiliki waktu khusus untuk mengumandangkan adzan. Bilal bin Rabah diperintahkan adzan pada waktu shalat tahajud –yang saat ini termasuk sunnah Nabi yang sudah jarang kita temui-, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum adzan pada saat datangnya waktu shalat subuh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiallahu ‘anha,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: ” أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ “

“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu (sepertiga) malam. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena ia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq (masuk waktu subuh).”

Latar Belakang

Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat senior Rasulullah, beliau termasuk di antara as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Ada yang mengatakan nama beliau adalah Umar, ada juga yang menyebut Amr, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantinya dengan nama Abdullah.

Orang-orang Madinah mengenalnya dengan nama Abdullah, sedangkan orang-orang Irak menyebutnya Amr. Namun keduanya sepakat bahwa nasabnya adalah Ibnu Qays bin Za-idah bin al-Usham. Abdullah memiliki kedekatan nasab dengan Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Ibu dari Khadijah adalah saudaranya Qays bin Za-idah, ayah dari Abdullah.

Abdullah bin Ummi Maktum memiliki kekurangan fisik berupa kebutaan (tuna netra). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Sejak kapan, engkau kehilangan penglihatan?” Ia menjawab, “Sejak kecil.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قال الله تبارك وتعالى: إذا ما أخذتُ كريمة عبدي لم أجِدْ له بها جزاءً إلا الجنة

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Jika Aku mengambil penglihatan hamba-Ku, maka tidak ada balasan yang lebih pantas kecuali surga.”

Saat Allah memerintahkan Rasul-Nya dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah, maka Abdullah bin Ummi Maktum menjadi orang yang pertama-tama menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Walaupun ia memiliki kekurangan fisik, jarak antara Mekah dan Madinah yang jauh, sekitar 490 Km, ancaman dari orang-orang Quraisy, belum lagi bahaya dalam perjalanan, semua itu tidak menghalanginya untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.

Keistimewaan Abdullah bin Ummi Maktum

Selain memiliki keistimewaan sebagai seorang muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Ummi Maktum juga merupakan orang kepercayaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat Rasulullah melakukan safar berangkat ke medan perang, beliau selalu mengankat Abdullah bin Ummi Maktum menjadi wali Kota Madinah menggantikan beliau yang sedang bersafar. Setidaknya 13 kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai wali kota sementara di Kota Madinah.

Keistimewaan lainnya adalah Allah Ta’ala menjadi saksi bahwa Abdullah bin Ummi Maktum adalah seseorang yang sangat mencintai Alquran dan sunnah Nabi-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapat teguran dari Allah Ta’ala lantaran mengedepankan para pembesar Quraisy daripada Abdullah bin Ummi Maktum. Bukan karena tidak menghormati Abdullah bin Ummi Maktum, akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap kemaslahatan yang lebih besar –dalam pandangan beliau- apabila para pembesar Quraisy ini memeluk Islam, namun ternyata hal itu tidak tepat di sisi Allah dan Allah langsung meluruskan dan membimbing Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kisahnya adalah sebagai berikut:

Pada masa permulaan dakwah Islam di Mekah, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy, dengan harapan agar mereka mau menerima Islam. Suatu kali beliau bertatap muka dengan Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabi’ah, Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah Khalid bin walid.

Rasulullah berdiskusi dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba Abdullah bin Ummi Maktum datang ‘mengganggu’ minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Alquran.

Abdullah mengatakan, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda.”

Rasul yang mulia tidak memperdulikan permintaan Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau agak acuh kepada perkataan Abdullah itu. Lalu beliau membelakangi Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah berharap, mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.

Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba-tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau,

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ [1] أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ [2] وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ [3] أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ [4] أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ [5] فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ [6] وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ [7] وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَىٰ [8] وَهُوَ يَخْشَىٰ [9] فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ [10] كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ [11] فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ [12] فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ [13] مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ [14] بِأَيْدِي سَفَرَةٍ [15] كِرَامٍ بَرَرَةٍ [16]

“Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).

Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.

Sejak hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum.

Syahidnya Sang Muadzin

Pada tahun 14 H, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengadakan konfrontasi dengan Kerajaan Persia. Beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada para gubernurnya dengan mengatakan, “Jangan ada seorang pun yang ketinggalan dari orang-orang yang memiliki senjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepadaku sesegera mungkin!” Lalu berkumpullah kaum muslimin, tergabung dalam pasukan besar yang dipimpin oleh sahabat yang mulia, Saad bin Abi Waqqash. Di antara pasukan tersebut terdapat Abdullah bin Ummi Maktum.

Abdullah bin Ummi Maktum masuk ke dalam pasukan Perang Qadisiyah dengan mengenakan baju besinya, tampil gagah, dan bertugas memegang panji bendera Islam. Tidak membuatnya gentar suara di medan perang yang menderu, dentingan tebasan pedang, ataupun desiran anak panah yang melesat. Baginya Amirul Mukminin telah membuka kesempatan bagi semua orang dalam jihad ini, ia pun tak mau melewatkan peluang berjihad di jalan Allah, walaupun bahaya sebagai seorang tuna netra lebih berlipat ganda.

Perang yang hebat pun berkecamuk, hingga sampailah pada hari ketiga, baru kaum muslimin berhasil mengalahkan pasukan negara adidaya Persia. Kemenangan tersebut menjadi kemenangan terbesar dalam sejarah peperangan Islam sampai saat itu. Namun kemenangan tersebut juga harus dibayar dengan gugurnya para syuhada, para pahlawan Islam, di antara mereka adalah sahabat dan muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu. Jasadnya ditemukan terkapar di medan perang sambil memeluk bendera yang diamanatkan kepadanya untuk dijaga.

Akhirnya sang muadzin pulang ke rahmatullah, gugur sebagai pahlawan memerangi bangsa Majusi Persia. Semoga Allah Ta’ala menerima amalan-amalan Abdullah bin Ummi Maktum dan memasukkan kita dan beliau ke dalam surga Allah.

Kisah Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum

Abdullah bin Ummi Maktum adalah sepupu istri Rasulullah Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Qays bin Zaid. Ibunya adalah Atikah binti Abdullah. Dia disebut Ummi Maktum (ibu yang tersembunyi) karena dia melahirkan anak difabel.

Abdullah menyaksikan bangkitnya Islam di Makkah. Dia termasuk orang pertama yang menerima Islam. Dia hidup ketika Islam disebarkan dengan sembunyi-sembunyi. Ketika itu umat Islam mendapatkan diskriminasi dan perlawanan yang hebat dari masyarakat Arab jahiliyah.

Namun, meskipun umat Islam ketika itu mengalami tekanan hebat, Abdullah pantang menyerah. Dia tegas dan gigih dalam melakukan perlawanan dan pengorbanan. Meskipun mendapatkan kekerasan dari bangsa Quraisy, keyakinannya tidak per nah melemah. Ujian yang dihadapi justru meningkatkan tekadnya untuk berpegang membela agama Allah dan Rasulullah.

Abdullah mengabdikan diri kepada Nabi. Sejak memeluk Islam dia sangat ingin menghafal Alquran. Setiap ada waktu senggang dia memanfaatkan waktu tersebut untuk menghafal wahyu Allah. Karena antusias mendalami Alquran, beberapa sahabatnya menyimpan rasa iri. Mereka mempertanyakan, mengapa Rasulullah sangat memperhatikan Abdullah? Apa manfaat menghafal Alquran? dan banyak lagi pertanyaan lain.

Jawabannya ada pada kisah berikut ini. Di masa awal berdakwah, Rasul fokus mengislamkan penduduk Quraisy. Suatu hari, dia bertemu Utbah bin Rabiah dan saudaranya Shay bah, Amr bin Hisyam lebih dikenal sebagai Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah dari Khalid bin Walid yang kemudian dikenal sebagai Sayfullah atau ‘pedang Tuhan’.

Rasul sudah mulai berbicara dan berdiplomasi dan memberitahu mereka tentang Islam. Dia sangat berharap bisa mengajak mereka memeluk Is lam. Masyarakat Quraisy diharapkan menanggapi dakwahnya secara positif dengan menerima Islam atau setidaknya menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat Nabi.

Sementara negosiasi dilakukan, Abdullah bin Ummu Maktum datang dan memintanya untuk membaca sebuah ayat Alquran. “Wahai utusan Allah,” katanya, “ajari aku dari apa yang telah Tuhan ajarkan kepadamu.” Namun Rasul tidak menghiraukannya.

Nabi mengerutkan kening dan berpaling darinya. Dia mengalihkan perhatiannya ke kelompok orang Quraisy yang prestisius, dengan harapan mereka akan menjadi Muslim. Dengan bersyahadat, mereka akan membawa kebesaran tauhid dan memperkuat misinya.

Segera setelah dia selesai berbicara dengan mereka dan pergi, tiba-tiba Rasul merasa pandangannya kabur dan kepalanya terasa sakit. Kemudian wahyu Allah turun, yaitu 16 ayat surah Abasa. Enam belas ayat ini diwahyukan kepada Rasul terkait tentang Abdullah bin Ummi Maktum.

Sejak hari itu Nabi tidak berhenti untuk bermurah hati kepada Abdullah, untuk bertanya kepadanya terutama mengenai kebutuhan hidup. Kapan pun dia mendekat, maka Rasul selalu mendahulukannya.

Saat orang Quraisy semakin kejam kepada Rasul dan pengikutnya, Allah kemudian memerintahkan mereka berhijrah. Abdullah bergegas menyiapkan diri untuk hijrah. Dia dan Mus’ab ibn Umair adalah rombongan sahabat pertama yang mencapai Madinah.

Menjadi muazin

Begitu sampai di Yatsrib, dia dan Mus’ab mulai berdiskusi dengan orang-orang, membaca Alquran mereka dan mengajarkan kepada mereka agama Allah. Saat tiba di Madinah, Nabi menunjuk Abdullah dan Bilal bin Rabah untuk menjadi muazin, melaksanakan shalat lima kali sehari, memanggil manusia untuk melakukan tindakan terbaik, dan memanggil mereka menuju kesuk sesan.

Bilal akan memanggil adzan dan Abdullah akan mengucapkan iqamah untuk shalat. Terkadang mereka bertukar posisi. Selama bulan Ramadhan, mereka mengadopsi rutinitas khusus. Salah satu dari mereka mengumandangkan azan untuk membangunkan orang sampai makan sebelum puasa dimulai.

Sedangkan yang lain akan mengumandangkan azan untuk mengumum kan awal fajar dan puasa. Bilal yang membangunkan orang-orang dan Abdullah bin Ummi Maktum yang akan mengumumkan awal subuh.

Menjaga Madinah

Salah satu tanggung jawab yang diberikan Nabi kepada Abdullah bin Umm Maktum adalah menjaga Madinah ketika Rasulullah tidak ada. Hal ini dilakukan lebih dari sepuluh kali, salah satunya saat dia pergi untuk membebaskan Kota Makkah.

Kemudian setelah pertempuran Badar, Nabi menerima sebuah wahyu dari Tuhan yang menaikkan status mujahidin dan lebih memilih mereka daripada qa’idin (mereka yang tetap tidak aktif di rumah). Ini untuk mendorong mujahid lebih jauh lagi dan memacu qa’id melepaskan ketidakaktifannya.

Wahyu ini sangat mempengaruhi Abdullah bin Ummi Maktum. Dia merasa iri karena tidak dapat berjihad bersama lainnya sehingga mendapatkan penghargaan lebih tinggi. Dia berkata: “Wahai utusan Tuhan, jika saya bisa terus berjihad, tentu saja saya pasti melakukannya.”

Dia kemudian dengan sungguh-sungguh meminta Tuhan untuk menurunkan sebuah wahyu tentang kasus istimewanya dan orang-orang seperti dia yang dicegah karena ketidakmampuan mereka untuk berperang.

Doanya dijawab. Wahyu tambahan pun diturunkan untuk membebaskan kewajiban berperang bagi orang difabel Surah An Nisa ayat 95. Meskipun demikian karena tak wajib berperang, tidak lantas membuatnya berpuas diri. Dia berkata: “Tempatkan saya di antara dua baris dan beri saya standarnya.

Saya akan membawanya untuk Anda dan melindunginya, karena saya buta dan tidak dapat melarikan diri.” Pada tahun keempat belas setelah hijrah, Umar memutuskan untuk melakukan serangan besar terhadap orang-orang Persia untuk menjatuhkan negara mereka dan membuka jalan bagi pasukan Muslim.

Jadi dia menulis surat kepada gubernurnya: “Kirimkan barang dengan senjata atau kuda atau yang bisa menawarkan bantuan apa pun kepada saya.”

Massa umat Islam dari segala arah menanggapi seruan Umar dan berkumpul di Madinah. Di antara semua ini adalah mujahid difabel, Abdullah bin Umm Maktum. Umar menunjuk komandan Sa’d bin Abi Waqqas ke arah tentara, memberinya instruksi dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya.

Ketika tentara mencapai Qadisiyyah, Abdullah bin Umm Maktum tampil, mengenakan mantel baju besi dan benar-benar siap. Dia telah bersumpah untuk membawa dan melindungi kaum Muslimin atau terbunuh dalam prosesnya. Pasukan Islam dan lawan berhadap-hadapan dan bertempur selama tiga hari.

Pertempuran itu termasuk yang paling sengit dan pahit dalam sejarah penaklukan Muslim. Pada hari ketiga, kaum Muslim mencapai kemenangan besar karena salah satu kerajaan terbesar di dunia runtuh dan salah satu tahta yang kuat terjatuh.

Dakwah tauhid dibesarkan di tanah berhala. Harga kemenangan yang jelas ini adalah ratusan martir. Di antaranya adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia ditemukan gugur di medan perang yang mencengkeram bendera kaum muslimin.