Tag: benarkah
Isu Husein bin Ali menolak Baiat
Sebagaimana kita ketahui telah terjadi fitnah yang besar di masa Daulah Bani Umayyah yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu perselisihan ini ditanggapi berbeda-beda oleh orang-orang setelahnya, khususnya para pembaca sejarah.
Ada yang bersikap ghuluw dan tidak bijak dalam berpendapat dengan menggelari Bani Umayyah adalah dinasti pembunuh cucu Rasulullah. Lalu memukul rata tragedi di suatu zaman pemerintahan Bani Umayyah menjadi kesalahan seluruh khalifah yang berafiliasi terhadap Bani Umayyah termasuk Umar bin Abdul Aziz atau bahkan yang mengherankan termasuk khalifah rasyid yang ke-3 Utsman bin Affan al-Umawi radhiallahu ‘anhu pun disalahkan. Pendapat pertama ini adalah pendapat orang-orang yang terpengaruh provokasi-provokasi Syiah dan membaca karya-karya penulis sejarah di masa Abbasiyah yang kontra dengan Umayyah, lalu mereka menjatuhkan image Daulah Bani Umayyah.
Ada pula yang menyalahkan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu dengan mengatakan beliau wafat dalam keadaan jahiliyah karena menolak berbaiat kepada khalifah yang sah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak membaiat (pemerintah), maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim, III/1478 no. 1851).
Menurut mereka berdasarkan hadits ini, maka Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu wafat dalam keadaan jahiliyah. Pendapat kedua ini disebabkan karena pembacaan sejarah yang tidak lengkap dan ketidaktahuan akan kedudukan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu.
Lalu bagaimana mendudukan permasalahan ini?
Sikap bijak dan pendapat yang menenangkan, jauh dari tendensi atau sentiment kepada kelompok tertentu akan kita dapatkan dengan memperhatikan bebera hal berikut ini:
Pertama, kita harus memahami posisi Yazid bin Muawiyah baik secara personal atau ketika telah menjadi khalifah. Secara personal, Yazid bin Muawiyah adalah orang yang memiliki keutamaan yang besar, bahkan hal itu telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
أوَّلُ جيشٍ من أمَّتي يغزونَ مدينةَ قيصرَ مغفورٌ لهم
”Pasukan pertama di kalangan umatku yang memerangi kotanya Kaisar (Konstatinopel), mereka diampuni.” (HR. Bukhari 2924)
Pasukan ini adalah pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah sebagai parameter dalam menimbang siapakah Yazid secara personal. Dia telah mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang mendapatkan ampunan dari Allah.
Kemudian sebagai seorang khalifah, Yazid adalah khalifah yang sah secara syariat yang dibaiat oleh para sahabat dan tabi’in secara umum, termasuk tokoh-tokoh sahabat seperti Abdullah bin Abbas dan Abbdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum. Yang diperselisihkan oleh para sahabat bukanlah Yazid sebagai khalifah akan tetapi cara pengangkatan Yazid yang tidak dilakukan dengan bijak. Jadi harus dibedakan kedua hal ini.
Kedua, mengenai penolakan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu. Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu memiliki keutamaan yang sangat besar, beliau adalah ahlul bait Rasulullah, putra dari penghulu wanita di surga yakni putri Rasulullah, Fatimah binti Rasulullah radhiallahu ‘anha, dan Husein adalah penghulu pemuda penghuni surga. Sebuah keutamaan yang sangat besar dan kedudukan yang sangat mulia baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai baiat Husein, Imam adz-Dzahabi dalam Siyar Alamin Nubala mengatakan, “Abdullah bin Ziyad mengutus Umar bin Saad untuk menghadang Husein, lalu Husein mengatakan, ‘Wahai Umar, pilihkan untukku tiga hal: (1) engkau biarkan aku pulang, (2) engkau antar aku menuju Yazid, lalu kuletakkan tangannku pada tangannya (baiat), (3) engkau antar aku menuju daerah Turk sehingga aku bisa berjihad hingga ajal menjemputku.”
Di dalam Minhaju Sunnah Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Husein tidaklah berpisah dari jamaah (umat Islam) dan tidaklah ia dibunuh kecuali dalam keadaanmeminta diizinkan kembali ke tempat asalnya (Mekah atau Madinah pen.), atau menuju daerah perbatasan (untuk berjihad), atau menuju Yazid kembali dalam persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan.
Dengan demikian, di akhir hayatnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu beliau merevisi pendapatnya dan mengutamakan persatuan dan keutuhan umat Islam.
Pendapat ini lebih menenagkan dan jauh dari tendesi manapun dan juga pendapat ini adalah pendapat yang menyatukan umat, tidak saling menggemobis dan saling menanamkan kebencian antara satu generasi dengan generasi lainnya. Semoga Allah menyatukan umat ini di atas Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar.
Raihanah Memeluk Islam
Sebelumnya, kita telah berbicara tentang biografi sebelas orang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kali ini, kita akan berbicara tentang wanita-wanita yang diperselisihkan oleh sejarawan; apakah ia istri Nabi atau bukan. Wanita pertama yang akan kita tengahkan kisahnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha.
Nasabnya
Ia adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha. Ada pula yang mengatakan nasabnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah bin Syam’un bin Zaid dari Bani Nadhir (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131). Ada juga yang menyebutnya berasal dari Bani Quraizhah (Mahdi Rizqullah: Terj. Sirah Nabawiyah. Cet. Perisai Alquran Hal: 844). Dan pendapat yang paling banyak, menyatakan bahwa ia berasal dari Bani Quraizhah.
Memeluk Islam
Awalnya, Raihanah adalah istri dari seorang laki-laki Bani Quraizhah yang dikenal dengan al-Hakam. Suaminya sangat mencintainya. Memuliakan dan berbuat baik padanya. Raihanah pun seorang wanita cantik yang memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya. Ia cerdas dan pandai menganalisa permasalahan.
Saat orang-orang Yahudi Bani Quraizhah mengkhinati perjanjian antara mereka dengan kaum muslimin, Rasulullah dan para sahabat menyerang mereka. Mereka berhasil dikalahkan sehingga kaum wanita mereka menjadi tawanan. Raihanah menjadi tawanan Rasulullah.
Mulanya Raihanah menolak memeluk Islam. Ia masih fanatik dengan agama Yahudinya. Keadaan ini membuat Rasulullah tidak nyaman. Saat Nabi tengah bersama sahabat-sahabatnya, ia mendengar derap langkah mendekatinya, ternyata Tsa’labah bin Sa’yah mengabarkan tentang keislaman Raihanah. Rasulullah bergembira dan memberi kegembiraan padanya untuk membebaskannya, menikahinya, dan mengenakan hijab untuknya. Namun Raihanah berkata, “Wahai Rasulullah, biar saja aku tetap dalam kekuasaanmu (budakmu). Itu lebih ringan bagiku dan juga untukmu.” Nabi pun membiarkan statusnya seperti semula (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131).
Dalam versi lain disebutkan:
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah sahabatnya, beliau mendengar derap langkah. Beliau berkata, “Ini suara derap langkah sandalnya Ibnu Sa’yah. Ia hendak memberi kabar gembira padaku dengan keislaman Raihanah.” Ibnu Sa’yah datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, Raihanah telah memeluk Islam. Bergembiralah dengan kabar ini.” Nabi mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qays (Ummul Mundzir). Ia tinggal di sana sampai mengalami haid dan suci dari haid tersebut.
Ummul Mundzir datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa Raihanah telah suci. Nabi datang ke rumahnya. Kemudian berkata pada Raihanah,
إِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ أُعْتِقَكِ، وَأَتَزَوَّجَكِ فَعَلْتُ، وَإِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ تَكُونِي فِي مِلْكِي أَطَؤُكِ بِالْمِلْكِ فَعَلْتُ
“Kalau kau mau, aku akan memerdekakanmu. Kemudian menikahimu dan telah kulakukan. Tapi, jika kau lebih suka menjadi kepemilikanku akan aku turuti. Dan telah kulakukan.”
Raihanah menjawab,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخَفُّ عَلَيْكَ وَعَلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِلْكِكَ
“Wahai Rasulullah, sungguh lebih ringan untuk Anda dan untukku kalau aku berada di bawah kepemilikanmu.”
Hubungan Raihanah dengan Rasulullah terus berlangsung demikian sampai ia wafat (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 4/604).
Apakah Raihanah Seorang Ummul Mukminin?
Para ulama berbeda pendapat apakah Raihanah termasuk istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah budak beliau. Mereka yang berpendapat bahwa Raihanah radhiallahu ‘anha adalah budak beliau berargumen dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Raihanah sendiri yang lebih memilih untuk menjadi budak beliau dibanding istri beliau.
Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Sirin (seoran tabi’in) bahwa ada seseorang menemui Raihanah radhiallahu ‘anha. Orang tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah tidak menghendakimu sebagai ibu dari orang-orang yang beriman.” Raihanah menjawab, “(dengan demikian) engkau tidak Allah kehendaki menjadi anakku.”
Jawaban Raihanah ini menunjukkan bahwa ia bukanlah istri nabi (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Baits, Cet. Darul Yamamah Beirut, Hal: 453).
Di antara sejarawan yang berpendapat bahwa Raihanah adalah istri Nabi adalah al-Waqidi. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah. Dan saat itu ia telah menikah. Suaminya mencintai dan memuliakannya. Ia berkata, ‘Aku tidak akan minta dijaga (bersuamikan) siapapun setelahnya’. Ia adalah seorang wanita yang cantik. Tatkala ia menjadi tawanan dari Bani Quraizah, ia dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku termasuk di antara orang yang dihadapkan padanya. Ia memerintahkan agar aku dipisah. Ia memiliki bagian dari setiap rampasan perang. Saat aku dipisah, Allah membuatku tunduk. Aku ditempakan di rumah Ummul Mundzir binti Qais selama beberapa hari. Sampai eksekusi kepada pasukan Bani Quraizhah usai dan tawanan dipisahkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku. Aku merasa sangat malu. Beliau mendakwahiku dan mendudukkanku di hadapannya. Beliau bersabda,
إِنِ اخْتَرْتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ اخْتَارَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ
‘Jika kau memilih Allah dan Rasul-Nya, maka Rasul-Nya pun akan memilihmu untuk dirinya’.
Aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan Rasul-Nya’.
Saat aku telah memeluk Islam, Rasulullah membebaskanku dan menikahiku. Ia memberi mahar senilai sepuluh uqiyah (1 uqiyah =119 gr) dan gandum. Sebagaimana ia memberi mahar istri-istrinya yang lain. Pesta pernikahan digelar di rumah Ummul Mundzir. Ia membagi hari-harinya sebagaimana yang ia lakukan untuk istri-istri yang lain. Kemudian mengenakan hijab untukku.”
Al-Waqidi mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaguminya. Tidaklah ia meminta sesuatu pasti diberi. Ada yang berkata pada Raihanah, ‘Kalau saja kau meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan Bani Quraizhah, pasti beliau akan membebaskan mereka’. Ia menjawab, ‘Ia belum bersamku sampai semua tawanan dipisah’. Rasulullah senantiasa bersamanya. Dan banyak meluangkan waktu bersamanya. Kebersamaan ini terus berlangsung hingga Raihanah wafat sepulang dari haji wada’. Nabi memakamkannya di Baqi’. Dan waktu pernikahannya dengan Nabi adalah Bulan Muharam tahun 6 H.” (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, Cet. Dar Hijr Litthaba’ah, 8/235).
Ibnu Saad dalam Tabaqatnya juga sependapat dengan al-Waqidi. Ia berkata, “Inilah yang diriwayatkan pada kami tentang pembebasan dan pernikahannya. Ini riwayat yang valid menurut kami. Dan ini juga pendapat para ulama. Namun aku mendengar terdapat riwayat bahwa ia berada di sisi Rasulullah belum dalam keadaan bebas. Ia berstatus sebagai budak Nabi hingga wafat.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, Cet. Dar Shadir Beirut, 8/130).
Pendapat yang kuat adalah Raihanah merupakan budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau tidak menikahinya. Walaupun terdapat perbedaan demikian, hal ini tidak mengurangi kedudukan Raihanah radhiallahu ‘anha. Ia memiliki kedudukan yang agung karena kedekatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena ia merupakan salah seorang wanita di rumah Nabi. Telah ditakdirkan untuknya kebahagiaan dengan kedudukan ini.
Wafatnya
Raihanah telah dianugerahkan kenikmatan yang besar dengan beberapa tahun berada dalam naungan rumah Nabi yang suci. Ia mengalami hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendapatkan pemuliaan dan kedudukan di dunia serta tarbiyah ruhiyah. Bersama Nabi, ia merasa nyaman dengan petunjuk dan hidayah. Namun, kehidupannya di rumah nabawi tidak begitu lama. Ia wafat di masa kehidupan Nabi.
Saat kepulangan dari haji wada’ tahun 10 H, Raihanah wafat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakamkannya di Pemakaman Baqi’ (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Bait, Hal: 454).
Semoga Allah meridhai dan merahmati Raihanah binti Zaid. Dan menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi.
Wafatnya Raihanah binti Zaid Istri Nabi
Wafatnya
Raihanah telah dianugerahkan kenikmatan yang besar dengan beberapa tahun berada dalam naungan rumah Nabi yang suci. Ia mengalami hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendapatkan pemuliaan dan kedudukan di dunia serta tarbiyah ruhiyah. Bersama Nabi, ia merasa nyaman dengan petunjuk dan hidayah. Namun, kehidupannya di rumah nabawi tidak begitu lama. Ia wafat di masa kehidupan Nabi.
Saat kepulangan dari haji wada’ tahun 10 H, Raihanah wafat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakamkannya di Pemakaman Baqi’ (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Bait, Hal: 454).
Semoga Allah meridhai dan merahmati Raihanah binti Zaid. Dan menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi.
Sebelumnya, kita telah berbicara tentang biografi sebelas orang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kali ini, kita akan berbicara tentang wanita-wanita yang diperselisihkan oleh sejarawan; apakah ia istri Nabi atau bukan. Wanita pertama yang akan kita tengahkan kisahnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha.
Nasabnya
Ia adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha. Ada pula yang mengatakan nasabnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah bin Syam’un bin Zaid dari Bani Nadhir (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131). Ada juga yang menyebutnya berasal dari Bani Quraizhah (Mahdi Rizqullah: Terj. Sirah Nabawiyah. Cet. Perisai Alquran Hal: 844). Dan pendapat yang paling banyak, menyatakan bahwa ia berasal dari Bani Quraizhah.
Memeluk Islam
Awalnya, Raihanah adalah istri dari seorang laki-laki Bani Quraizhah yang dikenal dengan al-Hakam. Suaminya sangat mencintainya. Memuliakan dan berbuat baik padanya. Raihanah pun seorang wanita cantik yang memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya. Ia cerdas dan pandai menganalisa permasalahan.
Saat orang-orang Yahudi Bani Quraizhah mengkhinati perjanjian antara mereka dengan kaum muslimin, Rasulullah dan para sahabat menyerang mereka. Mereka berhasil dikalahkan sehingga kaum wanita mereka menjadi tawanan. Raihanah menjadi tawanan Rasulullah.
Mulanya Raihanah menolak memeluk Islam. Ia masih fanatik dengan agama Yahudinya. Keadaan ini membuat Rasulullah tidak nyaman. Saat Nabi tengah bersama sahabat-sahabatnya, ia mendengar derap langkah mendekatinya, ternyata Tsa’labah bin Sa’yah mengabarkan tentang keislaman Raihanah. Rasulullah bergembira dan memberi kegembiraan padanya untuk membebaskannya, menikahinya, dan mengenakan hijab untuknya. Namun Raihanah berkata, “Wahai Rasulullah, biar saja aku tetap dalam kekuasaanmu (budakmu). Itu lebih ringan bagiku dan juga untukmu.” Nabi pun membiarkan statusnya seperti semula (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131).
Dalam versi lain disebutkan:
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah sahabatnya, beliau mendengar derap langkah. Beliau berkata, “Ini suara derap langkah sandalnya Ibnu Sa’yah. Ia hendak memberi kabar gembira padaku dengan keislaman Raihanah.” Ibnu Sa’yah datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, Raihanah telah memeluk Islam. Bergembiralah dengan kabar ini.” Nabi mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qays (Ummul Mundzir). Ia tinggal di sana sampai mengalami haid dan suci dari haid tersebut.
Ummul Mundzir datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa Raihanah telah suci. Nabi datang ke rumahnya. Kemudian berkata pada Raihanah,
إِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ أُعْتِقَكِ، وَأَتَزَوَّجَكِ فَعَلْتُ، وَإِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ تَكُونِي فِي مِلْكِي أَطَؤُكِ بِالْمِلْكِ فَعَلْتُ
“Kalau kau mau, aku akan memerdekakanmu. Kemudian menikahimu dan telah kulakukan. Tapi, jika kau lebih suka menjadi kepemilikanku akan aku turuti. Dan telah kulakukan.”
Raihanah menjawab,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخَفُّ عَلَيْكَ وَعَلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِلْكِكَ
“Wahai Rasulullah, sungguh lebih ringan untuk Anda dan untukku kalau aku berada di bawah kepemilikanmu.”
Hubungan Raihanah dengan Rasulullah terus berlangsung demikian sampai ia wafat (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 4/604).
Apakah Raihanah Seorang Ummul Mukminin?
Para ulama berbeda pendapat apakah Raihanah termasuk istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah budak beliau. Mereka yang berpendapat bahwa Raihanah radhiallahu ‘anha adalah budak beliau berargumen dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Raihanah sendiri yang lebih memilih untuk menjadi budak beliau dibanding istri beliau.
Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Sirin (seoran tabi’in) bahwa ada seseorang menemui Raihanah radhiallahu ‘anha. Orang tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah tidak menghendakimu sebagai ibu dari orang-orang yang beriman.” Raihanah menjawab, “(dengan demikian) engkau tidak Allah kehendaki menjadi anakku.”
Jawaban Raihanah ini menunjukkan bahwa ia bukanlah istri nabi (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Baits, Cet. Darul Yamamah Beirut, Hal: 453).
Di antara sejarawan yang berpendapat bahwa Raihanah adalah istri Nabi adalah al-Waqidi. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah. Dan saat itu ia telah menikah. Suaminya mencintai dan memuliakannya. Ia berkata, ‘Aku tidak akan minta dijaga (bersuamikan) siapapun setelahnya’. Ia adalah seorang wanita yang cantik. Tatkala ia menjadi tawanan dari Bani Quraizah, ia dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku termasuk di antara orang yang dihadapkan padanya. Ia memerintahkan agar aku dipisah. Ia memiliki bagian dari setiap rampasan perang. Saat aku dipisah, Allah membuatku tunduk. Aku ditempakan di rumah Ummul Mundzir binti Qais selama beberapa hari. Sampai eksekusi kepada pasukan Bani Quraizhah usai dan tawanan dipisahkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku. Aku merasa sangat malu. Beliau mendakwahiku dan mendudukkanku di hadapannya. Beliau bersabda,
إِنِ اخْتَرْتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ اخْتَارَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ
‘Jika kau memilih Allah dan Rasul-Nya, maka Rasul-Nya pun akan memilihmu untuk dirinya’.
Aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan Rasul-Nya’.
Saat aku telah memeluk Islam, Rasulullah membebaskanku dan menikahiku. Ia memberi mahar senilai sepuluh uqiyah (1 uqiyah =119 gr) dan gandum. Sebagaimana ia memberi mahar istri-istrinya yang lain. Pesta pernikahan digelar di rumah Ummul Mundzir. Ia membagi hari-harinya sebagaimana yang ia lakukan untuk istri-istri yang lain. Kemudian mengenakan hijab untukku.”
Al-Waqidi mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaguminya. Tidaklah ia meminta sesuatu pasti diberi. Ada yang berkata pada Raihanah, ‘Kalau saja kau meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan Bani Quraizhah, pasti beliau akan membebaskan mereka’. Ia menjawab, ‘Ia belum bersamku sampai semua tawanan dipisah’. Rasulullah senantiasa bersamanya. Dan banyak meluangkan waktu bersamanya. Kebersamaan ini terus berlangsung hingga Raihanah wafat sepulang dari haji wada’. Nabi memakamkannya di Baqi’. Dan waktu pernikahannya dengan Nabi adalah Bulan Muharam tahun 6 H.” (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, Cet. Dar Hijr Litthaba’ah, 8/235).
Ibnu Saad dalam Tabaqatnya juga sependapat dengan al-Waqidi. Ia berkata, “Inilah yang diriwayatkan pada kami tentang pembebasan dan pernikahannya. Ini riwayat yang valid menurut kami. Dan ini juga pendapat para ulama. Namun aku mendengar terdapat riwayat bahwa ia berada di sisi Rasulullah belum dalam keadaan bebas. Ia berstatus sebagai budak Nabi hingga wafat.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, Cet. Dar Shadir Beirut, 8/130).
Pendapat yang kuat adalah Raihanah merupakan budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau tidak menikahinya. Walaupun terdapat perbedaan demikian, hal ini tidak mengurangi kedudukan Raihanah radhiallahu ‘anha. Ia memiliki kedudukan yang agung karena kedekatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena ia merupakan salah seorang wanita di rumah Nabi. Telah ditakdirkan untuknya kebahagiaan dengan kedudukan ini.
Benarkah Husein bin Ali menolak Baiat Kepada Yazid?
Sebagaimana kita ketahui telah terjadi fitnah yang besar di masa Daulah Bani Umayyah yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu perselisihan ini ditanggapi berbeda-beda oleh orang-orang setelahnya, khususnya para pembaca sejarah.
Ada yang bersikap ghuluw dan tidak bijak dalam berpendapat dengan menggelari Bani Umayyah adalah dinasti pembunuh cucu Rasulullah. Lalu memukul rata tragedi di suatu zaman pemerintahan Bani Umayyah menjadi kesalahan seluruh khalifah yang berafiliasi terhadap Bani Umayyah termasuk Umar bin Abdul Aziz atau bahkan yang mengherankan termasuk khalifah rasyid yang ke-3 Utsman bin Affan al-Umawi radhiallahu ‘anhu pun disalahkan. Pendapat pertama ini adalah pendapat orang-orang yang terpengaruh provokasi-provokasi Syiah dan membaca karya-karya penulis sejarah di masa Abbasiyah yang kontra dengan Umayyah, lalu mereka menjatuhkan image Daulah Bani Umayyah.
Ada pula yang menyalahkan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu dengan mengatakan beliau wafat dalam keadaan jahiliyah karena menolak berbaiat kepada khalifah yang sah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak membaiat (pemerintah), maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim, III/1478 no. 1851).
Menurut mereka berdasarkan hadits ini, maka Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu wafat dalam keadaan jahiliyah. Pendapat kedua ini disebabkan karena pembacaan sejarah yang tidak lengkap dan ketidaktahuan akan kedudukan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu.
Lalu bagaimana mendudukan permasalahan ini?
Sikap bijak dan pendapat yang menenangkan, jauh dari tendensi atau sentiment kepada kelompok tertentu akan kita dapatkan dengan memperhatikan bebera hal berikut ini:
Pertama, kita harus memahami posisi Yazid bin Muawiyah baik secara personal atau ketika telah menjadi khalifah. Secara personal, Yazid bin Muawiyah adalah orang yang memiliki keutamaan yang besar, bahkan hal itu telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
أوَّلُ جيشٍ من أمَّتي يغزونَ مدينةَ قيصرَ مغفورٌ لهم
”Pasukan pertama di kalangan umatku yang memerangi kotanya Kaisar (Konstatinopel), mereka diampuni.” (HR. Bukhari 2924)
Pasukan ini adalah pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah sebagai parameter dalam menimbang siapakah Yazid secara personal. Dia telah mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang mendapatkan ampunan dari Allah.
Kemudian sebagai seorang khalifah, Yazid adalah khalifah yang sah secara syariat yang dibaiat oleh para sahabat dan tabi’in secara umum, termasuk tokoh-tokoh sahabat seperti Abdullah bin Abbas dan Abbdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum. Yang diperselisihkan oleh para sahabat bukanlah Yazid sebagai khalifah akan tetapi cara pengangkatan Yazid yang tidak dilakukan dengan bijak. Jadi harus dibedakan kedua hal ini.
Kedua, mengenai penolakan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu. Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu memiliki keutamaan yang sangat besar, beliau adalah ahlul bait Rasulullah, putra dari penghulu wanita di surga yakni putri Rasulullah, Fatimah binti Rasulullah radhiallahu ‘anha, dan Husein adalah penghulu pemuda penghuni surga. Sebuah keutamaan yang sangat besar dan kedudukan yang sangat mulia baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai baiat Husein, Imam adz-Dzahabi dalam Siyar Alamin Nubala mengatakan, “Abdullah bin Ziyad mengutus Umar bin Saad untuk menghadang Husein, lalu Husein mengatakan, ‘Wahai Umar, pilihkan untukku tiga hal: (1) engkau biarkan aku pulang, (2) engkau antar aku menuju Yazid, lalu kuletakkan tangannku pada tangannya (baiat), (3) engkau antar aku menuju daerah Turk sehingga aku bisa berjihad hingga ajal menjemputku.”
Di dalam Minhaju Sunnah Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Husein tidaklah berpisah dari jamaah (umat Islam) dan tidaklah ia dibunuh kecuali dalam keadaanmeminta diizinkan kembali ke tempat asalnya (Mekah atau Madinah pen.), atau menuju daerah perbatasan (untuk berjihad), atau menuju Yazid kembali dalam persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan.
Dengan demikian, di akhir hayatnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu beliau merevisi pendapatnya dan mengutamakan persatuan dan keutuhan umat Islam.
Pendapat ini lebih menenagkan dan jauh dari tendesi manapun dan juga pendapat ini adalah pendapat yang menyatukan umat, tidak saling menggemobis dan saling menanamkan kebencian antara satu generasi dengan generasi lainnya. Semoga Allah menyatukan umat ini di atas Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar.




