Tag: Biografi

Biografi Ummu Habibah bintu Abi Sufyan

Ummu Habibah adalah wanita yang menikah dengan Rasulullah dari jarak jauh. Rasulullah di Madinah, sedangkan ia berada di Afrika, di Habasyah. Bagaimana bisa? Simak kisahnya berikut ini.

Ummul Mukminin Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah)

Nasab

Sebagaiman kita ketahui, dalam Bahasa Arab nama yang sebelumnya terdapat kata Ummu, Abu, Ibnu, dan bintu dinamakan dengan kun-yah. Demikian juga dengan Ummu Habibah. Ini adalah kunyah bukan nama. Nama beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan (Shakhr) bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf al-Umawiyah. Ia dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah. Dan wafat pada tahun 44 H.

Ibunya adalah Shafiyah binti Abi al-Ash bin Umayyah. Ibunya merupakan bibi dari Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Hijrah

Ummu Habibah hijrah bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, menuju Habasyah pada hijrah yang kedua. Di sanalah ia melahirkan seorang anak yang bernama Habibah. Namun sayang, sang suami murtad dan memeluk Nasrani saat berada di bumi hijrah Habasyah. Tentu ini musibah besar bagi Ummu Habibah. Ia berada di perantauan. Negeri asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Mekah, ia berada dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya. Sekarang ia benar-benar sebatang kara setelah suaminya murtad. Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya (Ibnu Sayyid an-Nas: Uyun al-Atsar, 2/389).

Di Habasyah, Ummu Habibah bermimpi dengan mimpi yang aneh. Kemudian mimpi ini menjadi nyata. Ia bercerita, “Dalam mimpiku kulihat suamiku Ubaidullah bin Jahsy terlihat berpenampilan sangat buruk. Aku merasa takut. Dari situ keadannya pun berubah. Pagi harinya suamiku berkata, ‘Hai Ummu Habibah, sungguh aku belum pernah melihat agama yang lebih baik dari Nasrani. Dulu, aku memeluk agama ini. Setelah itu aku memeluk agamanya Muhammad. Sekarang aku kembali lagi menjadi Nasrani’. Kukatakan padanya, ‘Demi Allah, tidak ada kebaikan untukmu’. Kukabarkan padanya tentang mimpiku. Namun ia tak peduli. Akhirnya ia menjadi pecandu khamr hingga wafat.

Kedudukan dan Keutamaan

Dari sisi nasab, Ummu Habibah adalah wanita Quraisy yang tersambung nasabnya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf. Dan tidak ada seorang pun istri beliau yang beliau nikahi melalui jarak jauh seperti Ummu Habibah (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala 2/219).

Kedudukan lainnya, ia adalah putri dari tokoh besar Mekah dan pemimpinnya, Abu Sufyan bin Harb. Tentu keislamannya sangat beresiko bagi dirinya dan membuat malu ayahnya. Ia tahu memeluk Islam ibarat menyodorkan diri pada bahaya besar. Tak ragu lagi, pasti membuat sang ayah murka. Karena itulah ia menempuh perjalanan jauh dan melelahkan bersama sang suami menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah. Beratnya hijrah semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung anaknya, Habibah (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra 8/97). Inilah perjuangan di jalan Allah. Membuktikan kesungguhan dan kedalaman imannya kepada Allah Ta’ala.

Ujian untuknya tak berhenti sampai di situ. Di perantauan, sang suami murtad. Dan wafat dalam keadaan suul khatimah. Kufur memeluk Nasrani. Betapaun berat yang ia rasakan, ia tetap tegar. Ayahnya yang kufur, suaminya yang murtad, masa-masa kesendiriannya tak menggoyahkan imannnya.

Kabar Gembira

Di kesempatan lainnya, Ummu Habibah kembali bermimpi. Namun mimpi kali ini adalah mimpi indah. Ada seorang yang datang kepadanya dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin.” Aku kaget. Dan kutakwil mimpi itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersuntingku. Setelah usai masa iddahku, datang seorang utusan an-Najasyi di depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya. Ia masuk ke rumahku dan berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu. Ia melanjutkan, “Raja berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.” Ummu Habibah mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira yang ia bawa.

Saat tiba waktu sore, an-Najasyi memerintah Ja’far bin Abu Thalib untuk mengundang kaum muslimin menghadiri resepsi pernikahan ini. An-Najasyi berkhotbah, “Segala puji bagi Allah. Sang Maha Raja, Maha Suci, Maha Pemberi keselamatan, Maha Memberi keamanan, Maha Menjaga, Maha Perkasa, dan Maha Kuat. Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dialah yang dikabarkan oleh Isa bin Maryam. Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepadaku agar menikahkannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Aku pun memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku memberikan sebanyak 400 Dinar. Kemudian aku serahkan Dinar-Dinar itu kepada sekelompok orang.”

Khalid bin Saad gantian berbicara, “Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya, meminta kepada-Nya, dan memohon pertolongan-Nya. Aku bersaksi tidak sesembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar. Agar agama tersebut menang dibanding agama selainnya. Walaupun hal itu membuat orang-orang musyrik benci. Amma ba’du. Aku telah memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kunikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Semoga keberkahan dari Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.”

Sejumlah Dinar tadi, diserahkan kepada Khalid bin Saad. Lalu ia mendekapnya. Merasa acara walimah telah usai, para tamu mulai beranjak. Khalid berkata, “Duduklah. Sesungguhnya di antara sunnah para nabi apabila mereka menikah, mereka memberi hidangan makanan”. Ia pun mengundang mereka makan. Hidangan disantap. Setelah itu baru mereka pulang.

Ummu Habibah berkata, “Saat mas kawin tadi sampai di tanganku, kuserahkan ia kepada Abrahah yang telah memberi kabar gembira padaku. Kukatakan padanya, ‘Aku pernah memberimu apa yang telah aku berikan waktu itu. Padahal saat itu, aku tak memiliki sepeser harta pun. Ini ada lima puluh sekiaan (sejumlah harta). Ambil dan gunakanlah’. Ia menolak harta itu. Setiap aku memberinya, ia selalu mengembalikannya padaku. Ia berkata, ‘Raja berpesan padaku agar tak menerima sedikit pun darimu. Dan akulah orang yang mengurusi pakaiannya dan wewangiannya. Sungguh aku telah mengikuti agama Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku telah berserah diri (berislam) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Raja menitahkan kepada istri-istrinya agar mengirimimu wewangian yang mereka punya’.

Ummu Habibah berkata, “Esoknya aku kedatangan gaharu, waros, bibit parfum, zabbad (sejenis wewangian) yang banyak. Kuperuntukkan semua itu kepada Rasulullah. Beliau melihatnya dan tidak mengingkarinya.”

Abrahah berkata, “Hajatku padamu hanyalah engkau menyampaikan salam dariku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampaikan padanya bahwa aku telah mengikuti agamanya.” Kata Ummu Habibah, Abrahah senantiasa berbuat baik dan melayaninya. Setiap ia menjumpai Ummu Habibah, ia selalu mengingatkan, “Jangan lupa kau sampaikan keinginanku.”

Ummu Habibah berkata, “Saat aku berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kuceritakan bagaimana proses lamaran dan segala perbuatan baik Abrahah padaku. Beliau tersenyum. Dan aku sampaikan salam darinya pada beliau. Nabi menjawab,

وَعَلَيْهَا السَّلامُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

“Untuknya juga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/97-98).

Hikmah Pernikahan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah pada tahun ke-7 H. Beliau menikahinya karena memuliakannya dan meneguhkan agamanya. Kita tahu bagaimana perjalanan hidup Ummu Habibah. Cobaan berat dari ayah, suami, dan keadaan telah menempanya. Tidak sedikit seorang wanita yang teguh memegang kebenaran jatuh lunglai tatkala suaminya yang semula seperjuangan malah balik ke belakang. Namun tidak dengan Ummu Habibah. Ia berhijrah bersama anaknya. Merasa sedih ditinggal sang suami dalam situasi ia sangat membutuhkannya. Orang tua yang semestinya menjadi tempat mengadu -setelah Allah- pun tidak dapat ia andalkan. Ia tinggal sendiri di sebuah tempat bermi-mil jaraknya dari kampung halaman. Namun ia tetap bersabar dengan keadaannya. Tetap teguh memegang agamanya. Kemudian Allah hibur dia dengan menikahkannya dengan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan menjadikannya ibu orang-orang yang beriman.

Perhatikanlah! Bagaimana perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kaum muslimin. Meskipun mereka berada di negeri yang jauh di Habasyah, beliau tetap mengikuti perkembangan berita mereka. Bahkan kabar perkembangan per individu mereka. Di antaranya tentang Ummu Habibah. Cobaan bergilir datang padanya. Ia tetap teguh dengan iman dan agamanya. Ia bersabar. Dan Allah membalas kesabarannya dengan menikahkannya dengan manusia terbaik yang pernah ada.

Cintanya Kepada Nabi

Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan datang ke Madinah. Kedatangannya dalam rangka melobi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdamai. Setelah sebelumnya mereka sendiri, kaum Quraisy, membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Setelah Rasulullah menolak permintaannya, Abu Sufyan mencoba jalan lainnya. Yaitu melobi Rasulullah melalui putrinya yang merupakan istri Rasulullah, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha.

Saat Abu Sufyan hendak duduk di kasur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Habibah bersegera melipatnya. Abu Sufyan berkata, “Putriku, (aku tak mengerti) apakah kasur ini tidak layak bagiku (karena kau ingin yang lebih baik). Ataukah aku yang tak pantas duduk di kasur itu?” Ummu Habibah mengatakan, “Ini adalah kasurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Anda adalah seorang musyrik yang najis. Aku tidak suka ayah duduk di kasurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Sufyan berkata, “Putriku, kau menjadi jahat setelah berpisah denganku.” “(Tidak) bahkan Allah menunjukiku kepada Islam. Dan Anda -wahai ayah- adalah tokoh dan pembesar Quraisy, bagaimana bisa engkau terluput dari memeluk Islam. -Sebagai orang besar- Anda malah menyembah batu yang tidak mendengar juga melihat?!” Abu Sufyan pun pergi meninggalkan putrinya (ash-Shalihi asy-Syami: Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 5/206).

Kecintaan Ummu Habibah radhiallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tergambar dalam riwayat berikut ini:

“Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau senang akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan Abu Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab). Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku.” (HR. Bukhari, no. 5101 dan Muslim, no. 1449).

Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala:

عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Al-Mumtahanah: 7].

Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Sufyan. Rasulullah menikahi putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha. Kemudian menjadi tali penyambung jauhnya hubungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Abu Sufyan (Ibnu Katsir: Tafsir al-Quran al-Azhim, 8/89).

Sepeninggal Nabi

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Ummu Habibah tetaplah orang yang sama. Ia tetap wanita yang dulu, yang teguh dalam memegang kebenaran. Ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata, “Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)

Selama 33 tahun melanjutkan kehidupannya sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Habibah banyak melewati peristiwa-peristiwa besar bersama kaum muslimin. Saat terjadi petaka di zaman Utsman, para pemberontak kian mengganas. Seseorang berkata, “Seandainya kalian menemui salah seorang Ummul Mukminin. Mudah-mudahan mereka berhenti dari Utsman. Mereka menemui Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Aku (periwayat yaitu Hasan al-Bashri) melihat ia berada di sekedup di atas Bagal (peranakan kudan dengan keledai) putihnya. Orang-orang membawanya ke kediaman Utsman. Namun para pemberontak memalingkan arah tunggangannya. Mereka menolaknya. (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/569).

Ummu Habibah radhiallahu ‘anha juga senantiasa menjaga hubungan baiknya dengan saudari-saudarinya sesama istri Nabi. Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal dunia. Ia berkata, ‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku dan engkau dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu Habibah lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, semoga Allah juga memberikan kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu Salamah seperti itu pula. (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/100).

Wafatnya

Ummu Habibah wafat di Kota Madinah tahun 44 H. Saat itu beliau berusia 86 tahun. Ia wa fat di masa pemerintahan saudaranya, Muawiyah bin Abu Sufyan. Semoga Allah meridhai mereka semua (Ibnu Hajar: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 7/653).

Biografi Juwairiyah binti al-Harits

Kata Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, “Juwairiyah adalah seorang wanita yang cantik dan memesona. Tidak seorang pun yang melihatnya, pasti jatuh hati padanya.”

Nasabnya

Ummul mukminin Juwairiyah binti al-Harits adalah seorang bangsawan dari bani Musthaliq. Nama dan nasabnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib bin ‘A-idz bin Malik bin Jadzimah. Jadzimah inilah yang disebut Musthaliq. Ia berasal dari kabilah Khuza’ah. Nabi menikahinya usai Perang Muraisi’. Yaitu peperangan antaran kaum muslimin dengan Bani Musthaliq yang terjadi pada tahun ke-5 H. Ada pula yang mengatakan tahun ke-6 H. Sebelum menikah dengan Rasulullah, ia merupakan istri dari Musafi’ bin Shafwan al-Mushthaliq.

Ibnu Ishaq mengatakan, “Juwairiyah binti al-Harits, dulu namanya adalah Barrah binti al-Harits bin Abi Dhirar bin Habib bin ‘A-idz bin Malik bin Jadzimah dari kabilah Khuza’ah. Ia merupakan istri dari anak pamannya, Musafi’ bin Shafwan bin Dzi al-Syafr.

Dari Zainab binti Abu Salamah dari Juwairiyah binti al-Harits, ia menceritakan bahwa namanya dahulu adalah Barrah. Nabi mengganti namanya menjadi Juwairiyah. Alasannya karena beliau tidak suka kalau sehabis berjumpa dengannya dikatakan, “Beliau keluar dari Barrah (kebaikan).” Riwayat ini sesuai dengan syarat Muslim, walaupun ia tidak meriwayatkannya.

Di Masa Jahiliyah

Ummul mukminin Juwairiyah adalah tokoh di tengah kaumnya. Ayahnya adalah kepala kabilah Bani Musthaliq. Sampai kabar kepada Rasulullah bahwa Bani Musthaliq telah sepakat untuk menyerang beliau dan dipimpin oleh al-Harits bin Abi Dhirar. Kabar tersebut segera direspon oleh Rasulullah. Beliau menyiapkan pasukan dan keluar untuk menghadapi mereka. Kedua pasukan bertemu di sebuah mata air yang disebut al-Muraisi’. Bani Musthaliq berhasil dikalahkan. Al-Harits bin Abi Dhirar tewas dalam perang tersebut. Imbasnya, kaum wanita dan anak-anak Bani Musthaliq menjadi tawanan. Mereka diserahkan kepada para sahabat. Di antara tawanan tersebut terdapat Juwairiyah binti al-Harits, tokoh wanita Bani Musthaliq.

Memeluk Islam

Abdullah bin Umar mengatakan, “Muhammad bin Yazid mengabarkan kepadaku dari neneknya. Neneknya adalah budak dari Juwairiyah binti al-Harits. Bahwa Juwairiyah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasuullah menikahiku saat aku berusia 20 tahun.” Neneknya mengatakan, “Juwairiyah wafat pada tahun 50 H. Saat itu beliau berusia 65 tahun. Dan yang menjadi imam shalatnya adalah Khalifah Marwan bin al-Hakam.”

Usai perang Bani Musthaliq, Juwairiyah binti al-Harits menjadi tawanan perang. Suaminya terbunuh dalam perang ini. Ia berada di tangan sahabat Tsabit bin Qais bin asy-Syammas radhiallahu ‘anhu. Menjadi tawanan, tidak membuat Juwairiyah nyaman. Ia pun ingin menebus dirinya agar bebas. Karena ia adalah seorang tokoh dari kaumnya. Namun, ia tak memiliki apapun yang bisa digunakan untuk menebus dirinya. Lalu ia pergi menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berharap agar beliau mau membantu. Ternyata Rasulullah memberikan tawaran yang jauh lebh baik dan lebih utama dari apa yang ia inginkan. Nabi melamarnya dan menanggung pembebasannya. Juwairiyah menerima tawaran tersebut dan sekaligus memeluk Islam.

Wanita Yang Banyak Keberkahannya

Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan, “Saat Rasulullah menawan orang-orang Bani Musthaliq, Juwairiyah binti al-Harits berada pada tangan sahabat Tsabit bin Qays bin asy-Syammas radhiallahu ‘anhu atau pada anak pamannya. Juwairiyah berkeinginan membebaskan dirinya. Ia adalah seorang wanita yang cantik dan memesona. Hampir-hampir tak ada seorang pun yang melihatnya kecuali jatuh hati padanya. Ia datang menemui Rasulullah, dengan maksud meminta tolong kepada beliau untuk membebaskan dirinya. Demi Allah, tatkala aku melihat ia berdiri di depan pintu rumahku, aku tidak menyukai hal itu. Karena aku tahu, Rasulullah akan melihat apa yang aku lihat (melihat kecantikannya pen.).

Juwairiyah berkata, ‘Hai Rasulullah, aku memiliki masalah yang telah Anda ketahui. Aku ingin membebaskan diriku. Dan aku datang kepadamu agar kau menolongku’. Rasulullah menanggapi, ‘Atau kau ingin yang lebih baik dari itu?’ ‘Apa itu, Rasulullah?’ tanya Juwairiyah. Rasulullah berkata, ‘Aku menikahimu dan kutunaikan pembebasanmu’. Juwairiyah menjawab, ‘Tentu mau’. Nabi menjawab, ‘Aku telah melakukannya’.”

Aisyah melanjutkan, “Kabar ini pun tersebar di tengah kaum muslimin. Mereka berkata, ‘(tawanan kita ini) ipar-ipar Rasulullah!’. Mereka pun membebaskan semua tawanan Bani Musthaliq. Tawanan yang dibebaskan karena pernikahan Juwairiyah ini berjumlah 100 orang Bani Musthaliq. Aku tidak mengetahui wanita yang paling besar berkahnya terhadap kaumnya dibanding Juwairiyah.”

Kisah Ibunda Juwairiyah ini sungguh menarik. Kita semakin sadar bahwa hati manusia itu dalam genggaman Allah. Dan hidayah itu benar-benar milik Allah. Juwairiyah sebelumnya adalah wanita kafir yang menjadi tawanan (menjadi budak). Kedudukan yang hina di dunia dan akhirat. Kemudian ia memeluk Islam dan menikahi manusia terbaik yang pernah ada. Statusnya berubah menjadi wanita mulia di dunia dan kedudukan yang tinggi di akhirat. Dalam sekejap saja keadaan tersebut berubah. Berbalik dari keadaan paling hina menjadi amat sangat mulia. Menjadi ibu dari semua orang-orang yang beriman.

Kemudian keberkahan dirinya dan pernikahannya juga dirasakan oleh sejumlah besar kaumnya. Mereka semua terbebas. Setelah sebelumnya menjadi tawanan.

Pernikahan Ummul Mukminin Juwairiyah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membantah perkataan orang-orang yang berlebihan yang mengatakan bahwa Nabi hanya menikahi janda-janda tua saja.

Bimbingan Rasulullah

Rasulullah adalah seorang suami yang pandai menanamkan pengaruh kepada manusia. Dan tentu saja terhadap istrinya. Setelah memeluk Islam, Juwairiyah menjadi seorang wanita yang rajin beribadah. Ia banyak mengerjakan puasa sunnah. Saat ia berpuasa sunnah di hari Jumat saja, Nabi perintahkan dia untuk membatalkannya. Di antara kebiasaannya adalah berdzikir mulai dari usai shalat subuh hingga terbit matahari.

Dari Abu Ayyub dari Juwairiyah binti al-Harits radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya di hari Jumat. Saat itu Juwairiyah sedang berpuasa. Nabi bertanya, “Apakah kau kemarin berpuasa?” Juwairiyah menjawab, “Tidak.” Nabi melanjutkan, “Besok kau akan berpuasa?” “Tidak”, jawab Juwairiyah. “Jika demikian, batalkanlah”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ibnu Abbas, dari Ibunda Juwairiyah yang nama aslinya adalah Barrah. Namun Nabi menggantinya menjadi Juwairiyah, karena beliau tidak suka kalau dikatakan, ‘Beliau keluar dari Barrah (kebaikan)’. Juwairiyah berkata, “Nabi keluar dari rumahku. Saat itu aku sedang berada di mushalla rumahku. Beliau kembali lagi saat siang, sementara aku masih di tempat itu. Beliau berkata, ‘Engkau tidak meninggalkan mushallamu sedari aku keluar tadi?’ ‘Iya’, jawabku. Beliau bersabda,

لَقَدْ قُلْتُ بَعْدَكِ أرْبَعَ كَلِمَاتٍ ثَلاثَ مَرَّاتٍ ، لَوْ وُزِنَتْ بِمَا قُلْتِ مُنْذُ اليَوْمِ لَوَزَنَتْهُنَّ : سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ ، وَرِضَا نَفْسِهِ ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Sungguh, aku telah mengucapkan setelahmu empat kalimat sebanyak tiga kali. Jika ditimbang dengan yang kau ucapkan sejak tadi tentu akan menyamai timbangannya yaitu, “SUBHAANALLOHI WA BI-HAMDIH, ‘ADADA KHOLQIH, WA RIDHOO NAFSIH, WA ZINATA ‘ARSYIH, WA MIDAADA KALIMAATIH. (artinya: Mahasuci Allah. Aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh kerelaan-Nya, seberat timbangan ‘Arsy-Nya, dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya).” (HR. Muslim, no. 2726).

Dari ath-Thufail putra dari saudara laki-laki Juwairiyah, dari Juwairiyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

منْ لَبِسَ الحَرِيرَ في الدُّنْيا لَمْ يَلْبسْهُ في الآخرَةِ

“Seorang laki-laki yang memakai sutra di dunia, dia tidak akan memakainya di akhirat.” (Muttafaqun ‘alaih).

Wafat

Ibnu Umar mengatakan, “Abdullah bin Abu al-Abyadh bercerita bahwa ayahnya menyampaikan, ‘Juwairiyah binti al-Harits, istri Nabi, wafat di bulan Rabiul Awal tahun 56 H. Ia wafat di masa pemerintah Muawiyah. Yang menjadi imam shalat jenazahnya adalah Marwan bin al-Hakam yang saat itu menjabat gubernur Madinah’.”

Dalam riwayat yang berbeda, Abdullah bin Umar berkata, “Aku dikabari oleh Muhammad bin Yazid dari neneknya yang merupakan budak dari Juwairiyah binti al-Harits bahwa Juwairiyah radhiallahu ‘anha berkata, ‘Rasulullah menikahiku saat aku berusia 20 tahun’.” Neneknya mengatakan, “Juwairiyah wafat pada tahun 50 H. Saat itu usianya 65 tahun. Imam shalat jenazahnya adalah Marwan bin al-Hakam.

Pendapat yang lebih tepat adalah Ummul Mukminin Juwairiyah binti al-Harits wafat di bulan Rabiul Awal tahun 56 H, Allahu a’lam.

Biografi Zainab binti Jahsy

“Kalian dinikahkan oleh bapak-bapak kalian. Sedangkan aku langsung dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Tauhid 6984 dan at-Turmudzi 3213).

Begitulah ucapan kebanggaan Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha di depan istri-istri Nabi yang lain. Wajar ia berbangga. Selain menikahi manusia terbaik dalam sejarah peradaban manusia, wali nikahnya pun Dzat Yang Maha Baik, Rabb semesta alam, Allah Tabaraka wa Ta’ala. Balasan tergantung perbuatan, lalu bagaimana beliau bisa mencapai kedudukan yang mulia seperti itu? Berikut kisah tentang Ibunda Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha.

Nasabnya

Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha adalah seorang wanita bangsawan di tengah kaumnya. Nama dan nasabnya adalah Zainab binti Jahsy bin Ra-ib bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kubair bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah al-Asadi. Ia lahir 33 tahun sebelum hijrah dan wafat pada tahun 21 H. Ibunya adalah bibi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umaimah binti Abdul Muthalib. Dengan demikian, dari sisi nasab, Rasulullah dan Zainab binti Jahsy adalah sepupu.

Zainab juga merupakan saudara perempuan dari sahabat yang mulia Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu. Seorang yang pertama-tama memeluk Islam dan syuhada di Perang Uhud. Abdullah dimakamkan satu liang bersama paman Nabi dan pamannya juga, Hamzah bin Abdul Muthalib, semoga Allah meridhai keduanya (al-Mizzi: Tadzhib al-Kamal 35/184 dan az-Zurkali: al-I’lam 3/66).

Menikah dengan Anak Angkat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki anak angkat yakni Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Sebelumnya, Zaid adalah budak Khadijah milik Khadijah. Kemudian dihadiahkan kepada Rasulullah. Dan beliau membebaskannya. Karena telah cukup usia, Nabi mencarikan seorang yang pantas untuk anak angkatnya ini. Beliau temui Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha, kemudian meminangnya. Zainab menjawab, “Aku tidak tertarik menikah dengannya.” Rasulullah kemudian berkata, “Tidak, menikahlah dengannya.”

Mendengar ucapan Rasulullah, Zainab bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Anda memerintahkanku?” Saat keduanya tengah berdiskusi, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” [Quran Al-Ahzab: 36].

Zainab berkata, “Apakah Anda meridhaiku untuk menikah wahai Rasulullah?” “Iya”, jawab beliau. Zainab berkata, “Jika demikian, aku tak akan bermaksiat (dengan tidak menaati) Rasulullah. Engkau telah menikahkan diriku denganya.”

Melalui perjodohan ini, Nabi hendak mengajarkan nilai persamaan. Beliau hendak mendobrak tradisi lama dan mengubahnya dengan kemodernan. Tidak ada beda antara seorang bangsawan dengan bekas budak. Islam telah membuat mereka setara dalam kemanusiaan. Yang membedakan hanyalah ketakwaan. Zaid seorang bekas budak. Dan Zainab seorang wanita mulia yang memiliki trah Bani Hasyim, kabilah termulia di Quraisy. Mereka setara dalam pandangan Islam. Beliau hendak mengajarkan pada umatnya bahwa faktor kelas sosial bukanlah menjadi timbangan pertama dalam pernikahan. Tapi agama dan takwalah yang patut jadi acuan.

Lihatlah bagaimana ketaatan Zainab kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun perintah itu bertentangan dengan keinginannya, tapi tetap ia lakukan demi ridha Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang menyebabkan tingginya kedudukan Zainab. Allah balas dia dengan balasan yang tak pernah terbayangkan olehnya. Bahkan oleh siapapun.

Perceraian

Roda kehidupan terus bergulir. Biduk rumah tangga Zaid dan Zainab berlayar, namun terseok diterpa badai. Hingga Zaid menjumpai sang ayah angkat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta izin untuk menceraikan Zainab. Nabi menolak keinginannya. Beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah. Tetaplah bersama istrimu.” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” [Quran Al-Ahzab: 37].

Allah Ta’ala mengabarkan kepada Nabi-Nya bahwa Zainab binti Jahsy akan menjadi istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, jika diungkap sekarang Nabi khawatir hal ini akan menjadi isu hangat yang digoreng orang-orang munafik, ‘seorang ayah koq menikahi mantan istri anaknya’. Perlu diketahui, budaya Arab kala itu menganggap anak angkat sama dengan anak kandung. Syariat hendak menghapus tradisi ini. Anak angkat tak sama dengan anak kandung. Jalan untuk menghapus tradisi ini adalah pernikahan Nabi dengan Zainab. Dan nasab Zaid pun dikembalikan kepada ayah aslinya. Sebelumnya Zaid bin Muhammad menjadi Zaid bin Haritsah (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 170-171).

Artinya, Budaya Arab kala itu pun mengalami seleksi. Ia harus menyesuaikan diri dengan syariat Islam. Bukan syariat yang menyesuaikan dengan budaya yang ada di masyarakat. Demikian juga dengan budaya-budaya lainnya. Baik atau buruknya suatu budaya ditimbang dengan syariat.

Menikah dengan Nabi

Bisa jadi perintah Allah dan Rasul-Nya bertentangan dengan kehendak manusia. Saat menjalaninya, pun kadang terasa gejolak dalam jiwa. Tapi di balik itu semua terdapat hikmah besar yang bermanfaat untuk pelakunya di dunia dan akhirat. Demikian juga yang dirasakan Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha.

Ia diperintahkan menikahi seseorang yang shaleh dan baik, namun tidak memiliki kafa-ah dengan dirinya (tidak sekufu). Tapi ia tundukkan kehendak dirinya untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Dalam rumah tangganya ia merasakan ketidak-harmonisan dan ketidak-cocokan. Namun di balik itu, Allah persiapkan dirinya untuk menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di surga. Tidak hanya itu, melalui perantara dirinya terbentuklah hukum syariat yang berlaku hingga hari kiamat.

Akhirnya, rumah tangga Zaid dan Zainab tak bisa dipertahankan. Setelah selesai masa iddahnya, Rasulullah berkata kepada Zaid, “Pergilah, sebut aku pada dirinya.” Maksudnya, beliau hendak menikahinya. Zaid berkata, “Saat Rasulullah menyatakan itu. Aku pun merasa gembira. Aku pergi menemuinya. Saat berdiri di pintunya, kusampaikan padanya, ‘Wahai Zainab, Rasulullah mengutusku dan menyebut dirimu’. Zainab menjawab, ‘Aku belum mau berbicara apapun hingga aku mendapat keputusan dari Rabbku’. Kemudian ia pergi menuju ruang shalatnya (Riwayat Muslim dalam Kitab an-Nikah, 1428).

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً

“Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” [Quran Al-Ahzab: 37].

Diriwayatkan ketika Rasulullah menikahi Zainab, orang-orang munafik menggunjingi beliau. Mereka berkata, “Muhammad ini mengharamkan (mantan) istri dari anak, tapi dia sendiri menikahi (mantan) istri anaknya.” Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Quran Al-Ahzab: 40].

Allah Ta’ala juga berfirman,

ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Al-Ahzab: 5]. (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 171-172).

Dari peristiwa ini kita mengetahui, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak bebas dari lisan-lisan manusia. Padahal beliau telah dipuji Allah dengan keagungan akhlaknya. Apalagi kita. Kisah ini juga menyadarkan kita, memadamkan tradisi yang bertentangan dengan syariat tidaklah mudah. Pasti akan menimbulkan gejolak. Minimal muncul suara-suara sumbang yang menentang.

Dengan turunnya firman Allah:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا…

“Tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia…” [Quran Al-Ahzab: 37].

Zainab radhiallahu ‘anha membanggakan dirinya di hadapan istri-istri nabi yang lain. Ia berkata,

زوجكنَّ آباؤكنَّ، وزوَّجني الله من فوق سبع سموات

“Kalian dinikahkan oleh bapak-bapak kalian. Sedangkan aku langsung dinikahkan oleh Allah dari atas langit ketujuh.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Tauhid 6984 dan at-Turmudzi 3213).

Dari ucapan Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha, kita dapat mengetahui betapa Allah memuliakannya setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Walaupun hal itu bertentangan dengan keinginannya. Allah muliakan dia menjadi istri Rasulullah dan Allah yang menjadi wali nikah untuknya. Ucapan Ibunda Zainab juga menunjukkan bahwa keyakinan para sahabat radhiallahu ‘anhu bahwa Allah itu berada di atas. Bukan dimana-mana.

Pesta pernikahan Nabi dengan Zainab adalah pesta yang paling besar dan paling utama dibanding persta pernikahan dengan istri-istri beliau yang lain. Beliau menjamu orang-orang dengan roti dan daging sampai para tamu merasa kenyang semua.

Hikmah Pernikahan dengan Nabi

Diriwayatkan dari Ali bin al-Husein, Nabi mendapat wahyu dari Allah Ta’ala bahwa Zaid akan menceraikah Zainab. Dan Allah akan menikahkan Zainab dengannya. Ketika Zaid bercerita kepada Nabi tentang Zainab yang tak menaatinya, ia paham bahwa istrinya ingin berpisah dengannya. Rasulullah memberi arahan padanya dengan mengatakan,

اتَّقِ اللهَ فِي قَوْلِكَ، وَأَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ

“Bertakwalah kepada Allah dalam ucapanmu. Tahanlah istrimu bersamamu.”

Padahal Nabi tahu bahwa Zaid akhirnya akan menceraikannya, dan beliau yang akan menikahi mantan istrinya. Inilah yang beliau rahasiakan. Beliau tidak malah memprovokasi dan menjadi penyebab perceraian meskipun beliau tahu perceraian itu akan terjadi. Beliau khawatir nanti orang-orang akan berkomentar karena ia menikahi Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya. Allah mengkritik sikap Nabi kala itu. Sikap yang khawatir terhadap pendapat masyarakat dalam sesuatu yang Allah bolehkan. Allah mengkritik ucapan nabi “Tahan istrimu” padahal beliau tahu kalau Zaid akan menceraikannya. Dan Allah lah yang lebih berhak untuk ditakuti dalam keadaan apapun.

Dari peristiwa ini, Ahlussunnah wal Jamaah meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ma’shum dari kesalahan-kesalahan besar. Ma’shum dari segala sesuatu yang menyebabkan syariat berkurang atau bertambah. Adapun tentang kesalahan yang sifatnya minor, beliau melakukannya dan langsung mendapat teguran dari Allah Ta’ala.

Keutamaan Zainab

Ummul Mukminin Zainab radhiallahu ‘anha memiliki kedudukan di hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengetahui posisi Zainab di hati Nabi bisa kita simak penilaian Ibunda Aisyah. Beliau mengatakan, “Zainab adalah wanita yang menyamaiku dibanding istri-istri Nabi yang lain. Aku tak pernah melihat seorang wanita pun yang lebih baik agamanya, lebih bertakwa, lebih jujur ucapannya, lebih menyambung silaturahim, lebih besar sedekahnya, lebih semangat mengkhidmatkan diri dalam beramal dan mendekatkan diri kepada Allah dibanding dirinya. Hanya saja (kekurangannya), ia agak keras dan cepat marah. Namun ia cepat kembali.” (HR. Muslim dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah 2442 dan an-Nasai 3946).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Zainab sebagai seorang wanita awwahah. Beliau berkata kepada Umar bin al-Khattab,

إِنَّ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ أَوَّاهَةٌ”. فقال رجل: يا رسول الله، ما الأوَّاه؟ قال: “الْخَاشِعُ الْمُتَضَرِّعُ، {إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ} [هود: 75

“Sesungguhnya Zainab binti Jahsy adalah seorang wanita awwahah.” Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu awwah?” Beliau menjawab, “Seorang yang khusyuk dan tunduk. Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi awwah (penghiba) dan suka kembali kepada Allah.” [Quran Hud: 75] (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Sumthu ats-Tsamin Hal 179).

Saat terjadi Perang Thaif -setelah Perang Hunain-, Zainab adalah istri yang menemani Nabi. Ia juga bersama Nabi di Perang Khaibar dan Haji Wada’ (al-Halabi: as-Sirah al-Halabiyah 3/200). Saat Haji Wada’, Rasulullah berpesan kepada istri-istrinya,

هَذِهِ ثُمَّ ظُهُورُ الحُصُرِ

“Ini. Kemudian tetaplah kalian tinggal di rumah.”

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Zainab memegang teguh pesan ini. Ia senantiasa di rumahnya dan tidak bersafar. Semua istri-istri Nabi berhaji kembali kecuali Zainab binti Jahsy dan Saudah binti Zam’ah. Keduanya mengatakan, “Demi Allah, kami tidak menggerakkan tunggangan kami setelah kami mendengar pesan nabi.” (Riwayat Ahmad 26794. Al-Arnauth berkomentar sanad hadits ini hasan. Ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir 17/282).

Ibu Orang-Orang Miskin

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Sebagian istri Nabi bertanya kepada beliau, ‘Siapa di antara kami yang paling cepat menyusulmu (wafat)?’ Nabi menjawab, ‘Yang paling panjang tangannya’. Mereka mengambil alat pengukur dan mengukur tangan mereka masing-masing. Ternyata yang paling panjang tangannya adalah Saudah. Kemudian kami sadar, yang dimaksud panjang tangan di sini adalah mudah (mengulurkan tangan untuk) bersedekahlah. Itulah yang paling cepat menyusul beliau. Dan Zainab sangat gemar bersedekah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab az-Zakat 1354 dan Muslim dalam Kitab al-Fadhail 2452).

Wara’ dan Takwa

Ketika tersebar berita dusta tentang Aisyah, orang-orang heboh dan ikut bicara. Padahal mereka tak mengetahui hakiki duduk perkaranya. Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang apa yang menimpaku. Beliau berkata,

يَا زَيْنَبُ، مَاذَا عَلِمْتِ أَوْ رَأَيْتِ؟” فقالت: يا رسول الله، أحمي سمعي وبصري، ما علمتُ إلاَّ خيرًا

‘Wahai Zainab, apa yang kau ketahui tentang Aisyah atau bagaimana pandanganmu terhadapnya?’ Ia menjawab, ‘Aku jaga pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak mengenalnya melainkan sebagai sosok pribadi yang baik, Rasulullah’.”

Aisyah berkomentar, “Padahal dia adalah seorang perempuan yang menyamaiku (sainganku) dibanding istri-istri nabi yang lain. Allah menjaganya dengan sifat wara’ (kehati-hatian). Tapi, saudarinya (yang bernama) Hamnah, berbicara (turut menyebarkan dusta) agar Zainab (jadi yang utama). Dari peristiwa itu, hancurlah orang-orang hancur (karena ikut menyebar berita dusta) dari kalangan sahabat nabi.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir 4473).

Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar rahimahullah mengomentarai ucapan Aisyah bahwa Nabi bertanya kepada Zainab binti Jahsy, Ummul Mukminin. ‘Aku jaga pendengaranku dan penglihatanku’. Bentuk penjagaan beliau adalah tidak berkomentar tentang sesuatu yang tidak ia dengar dan lihat. Dan ucapan Aisyah ‘Padahal ia adalah sainganku’, maksudnya bersaing denganku dalam kehormatan. Bersaing dalam mencari kemuliaan, kedudukan yang tinggi, dan perlakuan istimewa (Ibnu Hajar: Fath al-Bari 8/478).

Dalam peristiwa ini tampak jelas kualitas ketakwaan Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha. Beliau bersikap hati-hati. Tidak mudah menuduh madunya, Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, dengan bentuk tuduhan apapun yang tidak ia lihat dan dengan telinganya sendiri.

Kehidupannya Sepeninggal Rasulullah

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kedermawanannya tidak pudar. Ia tetap menjadi wanita yang zuhud. Hatinya tak terkait dengan dunia dan perhiasannya. Disebutkan bahwa Umar mengirimkan hadiah untuk Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha. Saat hadiah tersebut tiba, Ibunda Zainab berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar, sungguh saudari-saudariku lebih layak menerima pembagian ini dibanding aku.” Mereka berkata, “Semuanya untuk Anda.” Zainab, “Subhanallah.”

Kemudian, Zainab alasi bagian bawah harta itu dengan kain. Ia berkata, “Tutup bagian atasnya dengan kain.” Orang-orang pun menutupinya. Zainab berkata pada Barzah binti Rafi’, “Masukkan tanganmu dan pegang erat bungkusan itu. Kemudian bawa menuju keluarga Fulan.” Barzah membagikannya di keluarga tersebut dan tersisa sebagian. Barzah berkata kepada Ibunda Zainab, “Semoga Allah mengampuni Anda. Demi Allah, sungguh ada bagian kami pada pemberian ini.” Zainab menjawab, “Untuk kalian yang di bagian bawah pakaian.” Barzah berkata, “Kami pun mengangkat bagian bawah. Lalu kami dapati ada uang sejumlah 85 Dirham.” Kemudian Zainab mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan pemberian Umar sampai kepadaku lagi setelah tahun ini.” Barzah berkata, “Dan ia wafat (sebelum tiba pembagian berikutnya).” (Ibnul Jauzi, Shifatu ash-Shafwah, 1/326).

Ayat-Ayat Yang Berkaitan Dengan Zainab

Berikut ini adalah ayat-ayat Alquran yang turun berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَ يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولاً

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” [Quran Al-Ahzab: 37].

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya ayat ini ‘sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya…’ [Quran Al-Ahzab: 37]. Turun terkait dengan keadaan Zainab binti Jahsy dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhuma (Ibnu Katsir: Tafsir al-Quran al-Azhim 6/425. Al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir 4509).

Kemudian firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلاَ مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لاَ يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” [Quran Al-Ahzab: 53].

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang orang-orang. Mereka pun memakan hidangan. Setelah makan, mereka duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol. Nabi memberi isyarat untuk berdiri, namun mereka tak juga berdiri. Saat beliau berdiri, sebagian dari mereka berdiri. Yang masih duduk, tersisa tiga orang. Nabi pun masuk ke bagian dalam rumahnya, ternyata ada sekelompok orang. Kemudian orang-orang ini berdiri. Aku (Anas) beranjak dan datang. Kukabarkan kepada beliau bahwa mereka sudah pergi. Beliau datang hingga masuk rumah. Aku pun masuk dan ternyata terdapat hijab antara aku dan beliau. Kemudian turunlah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi…”

Wafat

Ummul Mukminin Zainab bint Jahsy radhiallahu ‘anha wafat di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab. Tepatnya pada tahun 20 H. Ada juga yang menyatakan tahun 21 H. Dan saat wafat, usia beliau adalah 53 tahun (Ibnul Jauzi: Shifatu ash-Shafwah 1/326).

Biografi Ummu Salamah – Hindun bintu Abi Umayyah

Sebelumnya, ia bersuamikan Abu Salamah. Seorang laki-laki yang istimewa. Laki-laki yang pertama-tama memeluk Islam dan menyambut seruan Nabi untuk berhijrah. Saat sang suami wafat, ia beristirja’ (ucapan innalillahi…) dan memohon ganti yang lebih baik dari sang suami. Walaupun saat itu ia bingung siapa laki-laki yang lebih baik dari suaminya. Tapi keyakinannya mendahului rasa ragu yang menghampirinya. Ia tetap ucapkan kalimat itu dan Allah Maha Benar janjinya. Ia dilamar oleh Rasulullah. Ia adalah Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Mari kita simak kisah tentang wanita mulia ini.

Nasabnya

Namanya adalah Hind binti Abu Umayyah bin al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum. Lahir 24 tahun sebelum hijrah dan wafat pada tahun 61 H. Ayahnya adalah seorang Quraisy yang dikenal sangat dermawan. Sampai-sampai dijuluki Zadurrakib. Disebut demikian, karena kalau orang-orang bersafar bersamanya, mereka tak butuh membawa perbekalan. Semua sudah ditanggung oleh Abu Umayyah. Sementara ibunya adalah Atikah binti Amir bin Rabi’ah bin Abdul Muthalib (Muhibbuddin ath-Thabari: al-Sumthu al-Tsamin Hal 133).

Sebelum Bersama Nabi

Sebelum bersama Nabi, Ummu Salamah menikah dengan putra pamannya, yaitu Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Makhzum al-Qurasyi. Yang lebih dikenal dengan Abu Salamah. Abu Salamah adalah seorang sahabat yang mulia. Yang pertama-tama memeluk Islam dan merasakan musibah yang besar akibat keislamannya. Ia adalah putra dari bibi Rasulullah. Ibunya adalah Barrah binti Abdul Muthalib.

Saat diizinkan berhijrah ke Habasyah, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berhijrah ke sana bersama suaminya. Ia menuturkan, “Ketika kami sampai di Habasyah, penduduknya memperlakukan kami dengan sangat baik. Kami aman berada di atas agama kami. Kami tidak mendapat gangguan saat beribadah kepada Allah. Saat hal ini sampai kepada Quraisy, mereka mengirim hadiah kepada An-Najasyi. Mereka bawakan kulit (hewan) yang banyak (Ibnu Khuzaimah 2073 dan Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah 1/334-335). Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Salamah dan Ummu Salamah turut berhijrah ke Habasyah.

Kemudian Allah izinkan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Di sinilah terjadi peristiwa memilukan yang dialami Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dari peristiwa ini kita semakin sadar akan hakikat kesabaran dan berkorban di atas agama Allah Ta’ala. Perlu diketahui, Abu Salamah adalah orang pertama dari sahabat Rasulullah dari bani Makhzum yang hijrah ke Madinah. Ia berhijrah satu tahun sebelum peristiwa Baiat Aqobah. Ia datang dari Habasyah menemui Rasulullah di Mekah. Setibanya di Mekah, keadaan belum berubah. Orang-orang Quraisy masih saja menyakiti kaum muslimin. Di sisi lain, ia mendengar kalau di Madinah sudah terdapat kaum muslimin, ia pun berencana hijrah ke sana. Dan dalam peristiwa hijrahnya ini, istrinya, Ummu Salamah, mengalami penderitaan yang sangat berat.

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha berkisah, “Saat Abu Salamah telah mantab untuk hijrah ke Madinah, ia membawakan ontanya untuk kunaiki. Dan bersamaku putraku, Salamah bin Abu Salamah. Kemudian kami berangkat. Sekelompok laki-laki dari bani al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum (keluarga Ummu Salamah) mendekati kami dan berkata, ‘Tentang dirimu, kami sudah menyerah. Lalu bagaimana dengan istrimu ini? Apakah kau pikir kami akan membiarkannya pergi bersamamu ke daerah lain?” Akhirnya, Ummu Salamah dan putranya ditahan oleh keluarganya.

Ummu Salamah berkata, “Mereka melepaskan tali kekang onta dari tangan suamiku. Mereka merebutku darinya.” Akhirnya, Ummu Salamah dan putranya tertahan. Ummu Salamah melanjutkan, “Mengetahui kejadian ini, bani Abdul Asad pun murka, yakni saudara Abu Salamah. Mereka berkata, ‘Tidak, demi Allah. Kami tak akan membiarkan anak kami (karena nasab itu dari jalur ayah) berada di sisi ibunya. Karena kalian telah memisahkan ibunya dari saudara kami’. Mereka pun berebut menarik anakku Salamah, hingga mereka melepaskan tarikannya. Bani Abdul Asad pun membawanya pergi. Aku ditahan oleh keluargaku, Bani al-Mughirah. Sementara suamiku pergi ke Madinah.”

Ummu Salamah melanjutkan, “Aku terpisah dari suami dan anakku. Selama satu tahun atau hampir setahun lamanya, setiap pagi aku pergi ke ujung Kota Mekah dengan deraian air mata. Sampai akhirnya seorang laki-laki dari putra pamanku melihatku. Ia melihat keadaanku dan merasa iba. Ia berkata kepada Bani al-Mughirah, “Apakah kalian tak membiarkan saja dia pergi? Kalian telah pisahkan ia dengan suami dan anaknya.” Keluargaku (Bani al-Mughirah) berkata padaku, “Susullah suamimu jika kau menginginkannya.” Ummu Salamah berkata, “Dan saat itu Bani Saad (keluarga Abu Salamah) mengembalikan putraku ke pangkuanku.”

Aku pacu ontaku. Kugendong anakku dan kuletakkan ia bersamaku. Kami berangkat menuju Madinah untuk berkumpul dengan suamiku. Saat itu, tak ada seorang pun yang menemaniku. Aku berkata pada diriku, Apakah aku akan bertemu dengan seseorang yang bisa mengantarkanku pada suamiku? Saat sampai di Tan’im aku bertemu dengan Utsman bin Thalhah bin Abi Thalhah, keluarga dari Bani Abdud Dar. Ia berkata padaku, “Mau kemana hai putri Abu Umayyah?” Kujawab, “Aku hendak ke Madinah berjumpa dengan suamiku.” “Apakah ada orang yang menemanimu?” tanyanya. “Demi Allah, tidak ada. Hanyalah Allah dan putraku ini.”

Utsman bin Thalhah berkata, “Demi Allah, kau tak pantas dibiarkan sendiri.” Ia pun mengambil tali kekang ontaku, kemudian membawaku pergi. Demi Allah, aku tak pernah ditemani seorang laki-laki Arab pun yang aku pandang lebih mulia darinya. Apabila kami sampai di tempat istirahat, ia menghentikan ontaku. Kemudian ia memperhatikan keadaanku. Sampai-sampai saat aku turun dari ontaku, dia pun memperhatikan ontaku itu. Ia pergi dan mengikat tungganganku di pohon. Setelah istirahat selesai, ia datang lagi dan berkata, ‘Naiklah’. Saat aku telah naik, ia mendekat dan mengarahkan perjalanan kami sampai kami ke tempat istirahat berikutnya. Ia melakukan hal itu terus, sampai kami tiba di Madinah. Saat ia melihat kampung Bani Amr bin Auf di Quba, ia berkata, “Suamimu berada di kampung ini. Masukilah dengan berkah dari Allah.” Kemudian ia pergi kembali ke Mekah.

Ummu Salamah berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui ada keluarga dalam Islam yang menderita seperti penderitaan keluarga Abu Salamah. Aku tak melihat orang yang lebih mulia dibanding Utsman bin Thalhah.” (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah, 1/468). Akhirnya keluarga ini kembali berkumpul dengan keislaman dan keimanan mereka.

Pada tahun 2 H, Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk mencegat kafilah Abu Sufyan. Tanpa disangka, kemudian peristiwa inilah menjadi sebab Perang Badar. Abu Salamah turut serta dalam rombongan yang mencegat kafilah. Dan tentu saja ia juga terlibat dalam Perang Badr. Dalam perang itu ia menderita luka. Luka itu sempat sembuh, tapi kemudian kambuh kembali. Hingga menyebabkannya wafat pada Jumadil Akhir tahun 3 H (Ibnu al-Atsir: Asad al-Ghabah, 3/190).

Ummu Salamah menceritakan, “Suatu hari, Abu Salamah menemuiku. Ia baru saja menemui Rasulullah. Ia berkata, ‘Aku mendengar dari Rasulullah sebuah perkataan yang membuatku bahagia. Beliau bersabda,

لا يُصِيبُ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مُصِيبَةٌ فَيَسْتَرْجِعَ عِنْدَ مُصِيبَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا. إِلاَّ فُعِلَ ذَلِكَ بِهِ

“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu musibah. Kemudian ia beristirja (mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un) saat musibah tersebut terjadi. Setelah itu berdoa, ‘Ya Allah berilah aku pahala atas musibahku ini. Dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya’. Kecuali Allah akan mengabulkannya.”

Kata Ummu Salamah, “Aku pun menghafalkannya.”

Ketika Abu Salamah wafat, aku beristirja. Dan berdoa, “Ya Allah berilah pahala atas musibahku ini. Dan gantikanlah dengan yang lebih baik darinya.” Setelah itu, aku renungkan ucapanku dan bertanya pada diriku, “Adakah untukku yang lebih baik dari Abu Salamah?” Setelah iddahku selesai, Rasulullah meminta izin padaku. Saat itu aku sedang menyamak kulit. Kucuci tanganku dan kuizinkan beliau masuk. Aku pun membentangkan alas duduk dari kulit yang berisi serat. Beliau pun duduk di atasnya dan meminangku untuk dirinya. Setelah beliau selesai berbicara, aku berkata, “Wahai Rasulullah, siapa aku ini untuk tidak menerimamu. Tapi aku adalah seorang wanita yang sangat pencemburu. Aku khawatir Anda melihat pada diriku sesuatu yang menyebabkan aku diadzab oleh Allah. Dan aku adalah wanita yang sudah berusia dan memiliki anak-anak.”

Rasulullah menanggapi,

أَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْغَيْرَةِ فَسَوْفَ يُذْهِبُهَا اللَّهُ مِنْكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ السِّنِّ فَقَدْ أَصَابَنِي مِثْلُ الَّذِي أَصَابَكِ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتِ مِنَ الْعِيَالِ فَإِنَّمَا عِيَالُكِ عِيَالِي

“Yang engkau sebut berupa kecemburuan, Allah akan menghilangkan hal itu darimu. Tentang umurmu, aku pun telah berumur sebagaimana engkau. Dan tentang anak-anakmu, anak-anakmu juga anak-anakku.”

Ummu Salamah menjawab, “Aku terima lamaran Anda, Rasulullah.”

Kemudian ia mengatakan, “Sungguh Allah telah menggantikan untuk diriku seseorang yang lebih baik dari Abu Salamah, yakni Rasulullah.” (Ibnu Katsir” as-Sirah an-Nabawiyah, 3/175).

Hikmah Pernikahan dengan Nabi

Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha adalah pemuliaan terhadap Ummu Salamah. Setelah suaminya wafat, tak ada pasangan yang melindungi dan menjaganya. Sementara beliau adalah wanita yang telah banyak berkorban demi agamanya dan menyambut dakwah yang penuh berkah ini. Ia juga memiliki empat orang anak yatim. Rasulullah hadir sebagai suami dan seseorang yang menanggung dirinya dan anak-anaknya.

Di rumah Tangga Nabawi

Setelah Abu Salamah radhiallahu ‘anhu wafat dan masa iddah Ummu Salamah usai, ia dipinang Abu Bakar, tapi ia menolaknya. Kemudian Umar meminangnya, ia juga menolaknya. Kemudian Rasulullah meminta izin kepadanya, ia pun menerima pinangan Nabi. Dan putranya yang menjadi wali baginya. Akad pernikahan itu disaksikan sejumlah sahabat. Maharnya sama seperti mahar Aisyah: karpet tebal, kasur yang diisi serat, dan penggilingan. Nabi tinggal bersamanya pada tahun ke-4 H (Ibnu Zibalah: Azwaj an-Nabi, Hal: 64).

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha memiliki sesuatu yang berbeda dengan istri-istri nabi yang lain. Ia memiliki keistimewaan bahwa rasa cemburunya telah Allah hilangkan. Dan ia adalah salah seorang istri nabi yang tercantik. Sebagaimana pujian Aisyah terhadapnya.

Ummu Salamah memiliki kedudukan istimewa di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan oleh Zainab putri Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Rasulullah shallallahu berada di sisi Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Beliau meletakkan Hasan di sisi beliau dan Husein di sisi yang lain. Sementara Fatimah berada di bagian depan rumah beliau. Beliau bersabda,

رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ، إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ”. وأنا وأمُّ سلمة -رضي الله عنها- جالستان

“Semoga Allah merahmati dan memberkahi kalian wahai ahlul baitku. Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”

Aku (Zainab) dan juga Ummu Salamah duduk. Kemudian ibuku, Ummu Salama, menangis. Rasulullah melihat ke arahnya dan bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ummu Salamah menjawab, “Anda mengkhususkan mereka dan meninggalkan aku dan putriku.” Nabi bersabda,

أَنْتِ وَابْنَتُكِ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ

“Engkau dan putrimu juga termasuk ahlul baitku.” (HR. ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir 18/19).

Saat Rasulullah hendak menemui istri-istrinya, beliau memulainya dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, “Merupakan kebiasaan Rasulullah apabila usai shalat ashar beliau menemui istri-istrinya. Satu per satu. Ia mulai dari Ummu Salamah, karena ialah yang paling senior. Dan beliau tutup dengan mengunjungiku.” (ash-Shalihi asy-Syami: Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 11/170).

Ummu Salamah adalah seorang wanita yang baik dan menjaga kehormatan diri. Ia memiliki kedudukan istimewa di sisi Rasulullah. Anak-anaknya dididik di rumah nabi. Pernikahannya dengan Nabi memiliki hikmah yang agung. Saat ia tengah sendiri setelah wafanya Abu Salamah. Tak memiliki keluarga dan pelindung. Ia dan suaminya adalah seorang yang berjuang untuk dakwah dengan segala yang mereka miliki, baik harta maupun jiwa. Pernikahannya dengan Nabi adalah pengganti dari semua kebaikan yang hilang darinya.

Rasulullah memuliakan Ummu Salamah dan suka memberinya hadiah. Saat menikahinya, Nabi berkata kepadanya,

إِنِّي قَدْ أَهْدَيْتُ إِلَى النَّجَاشِيِّ حُلَّةً وَأَوَاقِيَّ مِنْ مِسْكٍ، وَلا أَرَى النَّجَاشِيَّ إِلاَّ قَدْ مَاتَ، وَلا أَرَى إِلاَّ هَدِيَّتِي مَرْدُودَةً عَلَيَّ، فَإِنْ رُدَّتْ عَلَيَّ فَهِيَ لَكِ

“Sesungguhnya aku memberi an-Najasyi suatu perhiasan dan sejumlah misik. Tapi sekarang an-Najasyi telah wafat. Dan aku memandang hadiah tersebut kembali kepemilikannya kepadaku. Seandainya hadiah itu kembali padaku, akan kuberikan padamu.”

Apa yang diucapkan Rasulullah benar terjadi. Beliau memberi masing-masing istri beliau satu uqiyah misik. Dan memberi Ummu Salamah sisa semuanya ditambah perhiasan (HR. Ahmad 27317).

Kecerdasan Ummu Salamah

Di antara keutamaan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, beliau menjadi sebab langsung turunnya beberapa ayat Alquran. Dari Mujahid, Ummu Salamah berkata,

يا رسول الله، تغزو الرجال ولا نغزو، وإنما لنا نصف الميراث. فنزلت: {وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ} [النساء: 32]، ونزلت: {إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ…} [الأحزاب: 35].

“Wahai Rasulullah, laki-laki turut serta dalam perang (jihad) sementara kami tidak. Kami disifati sebagai warisan. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya,

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…” [Quran An-Nisa: 32].

Mujahid rahimahullah berkata, “Saat itu diturunkanlah ayat:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim.” [Quran Al-Ahzab: 35].

Saat itu Ummu Salamah merupakan wanita pertama yang tiba di Madinah (al-Qurthubi: al-Jami’ al-Ahkam al-Quran, 5/162).

Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, berkaitan dengan hijrah, kami belum mendengar Allah menyebutkan sedikit pun tentang perempuan. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۖ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِّنْ عِندِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik”. [Quran Ali Imran: 195].

Ummu Salamah dan Buah Perjanjian Hudaibiyah

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menandatangani perjanjian Hudaibiyah, beliau berkata kepada para sahabatnya,

قُومُوا فَانْحَرُوا، ثُمَّ احْلِقُوا

“Berdirilah dan semebelihlah hewan kurban kalian. Setelah itu gundulilah kepala kalian.”

Tak ada seorang pun dari mereka yang melaksanakan perintah nabi. Hingga beliau merasa perlu mengulangi perintahnya sampai tiga kali. Walaupun demikian, masih belum ada yang melakukannya. Karena mereka berat dengan putusan Perjanjian Hudaibiyah, dan mereka masih berharap Rasulullah berubah pikiran atau turun wahyu kepada beliau. Melihat keadaan itu, Nabi pun masuk ke tenda menemui istrinya, Ummu Salamah. Beliau ceritakan keadaan para sahabatnya kepada istrinya. Ummu Salamah merespon curahan hati beliau dengan mengatakan,

يا نبي الله أتحبُّ ذلك؟ اخرج ثم لا تكلِّم أحدًا منهم كلمة حتى تنحر بُدْنَك وتدعو حالقك فيحلقك

“Wahai Nabi Allah kalau Anda mau, keluarlah tanpa berbicara dengan seorang pun dari mereka. Kemudian sembelihlah hewan Anda. Panggil tukang cukur Anda, dan cukurlah rambut Anda.”

Nabi pun keluar tanpa berbicara sepatah kata pun kepada mereka hingga beliau melakukan apa yang dianjurkan Ummu Salamah. Beliau semebelih hewannya. Memanggil tukang cukurnya dan mencukur rambutnya. Saat melihat beliau melakukan itu, para sahabat pun berdiri dan menyembelih hewan mereka. Sebagian mereka mencukur sebagian yang lain. Mereka sibuk melakukan yang demikian (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 3/334).

Para sahabat sadar bahwa keputusan beliau tak lagi berubah. Dan tidak turun wahyu tentang hal ini. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Anjurannya kepada nabi pada hari Hudaibiyah ini menunjukkan kecerdasan akalnya dan benarnya pandangannya.” (Ibnu Jakar al-Asqalani: al-Ishobah fi Tamyiz ash-Shahabah 8/224).

Hadits yang Diriwayatkan Ummu Salamah

Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Ummu Salamah meriwayatkan sejumlah 380 hadits. Yang disepakati al-Bukhari dan Muslim ada 13 hadits. Al-Bukhari saja, 3 hadits. Muslim saja, 13 hadits. Beliau meriwayatkan hadits-hadits tentang bimbingan dan pendidikan untuk muslimah. Terdapat juga hadits bahwa nabi menciumnya saat nabi sedang berpuasa. Ada pula hadits tentang ia mandi junub bersama nabi dari satu wadah air. Nabi pernah tidur bersamanya dalam satu selimut. Nabi mengunjunginya saat ia sedang haid. Nabi bertanya, “Apakah engkau mengalami nifas?” Ummu Salamah, “Benar.” Beliau bersabda, “Berdirilah, bersihkanlah dirimu. Kemudian kembalilah ke sini.” Aku mengganti bajuku dan kupakai pakaian haidku. Kemudian aku kembali bersamanya di dalam selimut.” (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Samthu ats-Tsamin, Hal: 142-143).

Setelah Nabi Wafat

Setelah nabi wafat, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha banyak ambil peranan dalam peristiwa-peristiwa di masanya. Ia pernah menemui Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan berkata padanya,

“ما لي أرى رعيَّتك عنك نافرين، ومن جناحك ناقرين، لا تُعَفِّ طريقًا كان رسول الله لَحَبَهَا، ولا تقتدح بزند كان أكباه، وتوخَّ حيث توخَّى صاحباك -أبو بكر وعمر- فإنهما ثَكَمَا الأمر ثَكْمًا ولم يظلمَا، هذا حقُّ أمومتي أَقْضِيه إليك، وإن عليك حقَّ الطاعة. فقال عثمان: أمَّا بعد، فقد قلتِ فوعيتُ، وأوصيتِ فقبلتُ

“Menurutku rakyatmu tak akan lari. Orang-orang yang ada di sisimu akan tetap bersamamu. Jangan kau padamkan jalan yang telah diterangi Rasulullah. Jangan engkau memantik kekacauan. Jalinlah persaudaraan sebagaimana dua orang sahabatmu -Abu Bakar dan Umar-. Keduanya telah menjelaskan perkara dengan sejelas-jelasnya. Mereka berdua tidak menzalimi. Inilah kebenaran… Sesungguhnya engkau berhak ditaati.”

Utsman menjawab, “Sungguh engkau telah berkata dan aku memahaminya. Engkau telah menasihati dan aku menerimanya.” (Min A’lamin Nisa, Hal: 190).

Wafat

Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anha wafat pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Tepatnya di tahun 61 H sebagaimana disebutkan Ibnu Hibban. Saat itu usianya 84 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa usia beliau mencapai 90 tahun. Semoga Allah meridhai beliau (Ibnu Hajar: Tadzhib at-Tadzhib, 12/483).

Bacaan Islami Lainnnya:

– Komik Pahlawan Islam Anas bin Nadhar
– Komik Mantan Napi Berulah Lagi
– Bantuan Dari Allah Saat Kesulitan
– 3 Hal Yang Dilakukan Saat Bangun Untuk Sahur
– Kenapa Dia Begitu Cinta Al-Qur’an

– Hindari Berkata Kotor
– Perang Melawan Hawa Nafsu
– Jangan Mencari Keburukan Orang
– Komik Islami Tentang Cinta
– Jomblo Halu Kepengen Punya Istri

– Komik Islami Pakai Yang Kanan
– Komik Islami Simple
– Jangan Benci Muslimah Bercadar
– Waspada 3 Pintu Menuju Neraka
– Kalau Sholat Jangan Lari Larian

– Perlunya Kerjasama Dalam Rumah Tangga
– Baju Koko Vs Jersey – Komik Islami
– Dunia Hanya Sementara
– Komik Islami Bahasa Inggris
– Komik Islami Tarawih Surat Pendek

– Kisah Pendek Khutbah Jum’at
– Menunggu Punahnya Corona
– Komik Pendek Islami
– Jangan Pernah Menunda Ibadah
– Komik Islami Hitam Putih

– Parno Karena Batuk Corona
– Komik Islami Doa Pejuang Nafkah
– Komik Islami Muslimah Memanah Dan Tahajud
– Komik Islami Hidup Bahagia
– Komik Islami Nasehat Dan Renungan
– Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia Yang Sebenarnya

Selamat Membaca.. Bantu Kami Dengan Donasi.. Dengan Kontak Businessfwj@gmail.com

Biografi Zainab Binti Khuzaimah

Sejak zaman jahiliyah, Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah dijuluki ibunya orang-orang miskin. Hal itu karena kedermawanan, kasih sayang, dan semangatnya dalam memenuhi kebutuhan orang-orang miskin.

Mengenal Zainab binti Khuzaimah

Nama dan nasabnya adalah Zainab binti Khuzaimah bin al-Harits bin Abdullah bin Amr bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah al-Hilaliyah. Ibunya adalah Hind binti Auf bin Zuhair bin al-Hairts. Orang-orang mengomentarinya, “Tak ada seorang pun wanita yang memiliki menantu sehebat Hind binti Auf, ibunya Zainab, Maimunah, dan saudara-saudaranya.” Di antara menantunya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Abbas bin Abdul Muthalib, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib, Ali bin Abu Thalib, Abu Bakar, dan Syaddad bin Usamah bin al-Hadi (al-Ashami: Samthu an-Nujum al-‘Awali, 1/201).

Zainab merupakan saudara seibu dengan Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha.

Kehidupannya Sebelum Bersama Nabi

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibunda Zainab radhiallahu ‘anha telah dua kali menjalin hubungan pernikahan. Suami pertamanya adalah ath-Thufail bin al-Harits bin al-Muthalib bin Abdu Manaf. Kemudian ia dicerai oleh ath-Thufail. Setelah itu, Ubaidah bin al-Harits radhiallahu ‘anhu menikahinya. Suami keduanya ini gugur di Perang Badar (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Samthu ats-Tsamin, Hal: 185). Ada juga yang mengatakan, suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy yang gugur di Perang Uhud. Dan pendapat kedua ini lebih kuat dari yang pertama (al-Mizzi: Tadzhib al-Kamal, 1/204).

Zainab radhiallahu ‘anha memiliki peran besar dalam Perang Badar. Ia bersama muslimah lainnya tergabung dalam tim medis yang merawat para sahabat yang terluka saat berperang. Mereka juga membantu menyediakan makanan dan minuman untuk para mujahid. Apa yang mereka lakukan ini merupakan usaha besar yang tak bisa diremehkan. Mereka berani. Mereka memberi dan tidak hanya menunggu. Mereka turut andil berjuang bersama Rasulullah dan para sahabat laki-laki.

Menikah dengan Nabi

Usai Perang Uhud tahun 3 H, Zainab kembali hidup seorang diri. Suaminya, Abdullah bin Jahsy, syahid di perang tersebut. Nabi mengetahui musibah yang menimpanya dan beliau pun iba dengan keadaannya. Beliau menikahinya di bulan Ramadhan tahun 3 H. Saat itu Zainab berusia 29 tahun. Beliau memberi mahar sebanya 12,5 Uqiyah. 1 Uqiyah setara dengan 40 Dirham (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/115).

Wafat

Usia rumah tangga Ibunda Zainab binti Khuzaimah radhiallahu ‘anha dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlangsung lama. Hanya berlangsung selama delapan bulan atau kurang dari itu. Beliau wafat di Madinah saat berusia 30 tahun (al-Mizzi: Tadzhib al-Kamal, 1/204).

Pelajaran:

Pertama: Walaupun usia pernikahannya dengan Rasulullah tidak lama, namun ia telah memiliki kedudukan yang tinggi. Kedudukan sebagai istri nabi di dunia dan di surga. Kedudukan sebagai ibu dari orang-orang yang beriman (ummul mukminin). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.” [Quran Al-Ahzab: 6].

Demikianlah apabila Allah hendak mengangkat kedudukan seseorang.

Kedua: Kualitas pasangan hidup seseorang seperti kualitas dirinya. Sebelum menikah dengan Nabi, Zainab sudah dikenal sebagai seorang yang luhur akhlaknya. Seorang yang memiliki perhatian terhadap orang lain. Karena kepeduliannya terhadap orang lain, ia terbiasa dengan aktivitas suaminya yang tidak hanya miliknya, tetapi milik umat juga.

Biografi Hafshah binti Umar bin Khaththab

Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.

Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.

Nasab dan Masa Petumbuhannya

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”

Sayyidah Hafshah radhiallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalarn membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Memeluk Islam

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.

Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam, serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Menikah dan Hijrah ke Madinah

Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Cobaan dan Ganjaran

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Berada di Rumah Rasulullah

Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah radhiallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.

Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)

Cobaan Besar

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab)

Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Pemilik Mushaf yang Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal A1-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Biografi Aisyah binti Abu Bakar

Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha adalah satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan status gadis. Beliau yang paling muda dalam usia pernikahan. Dan istri nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Nama dan Nasabnya

Beliau adalah Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakr ash-Shiddiq. Merupakan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling masyhur. Beliau lahir pada tahun 9 Sebelum Hijrah. Kun-yahnya adalah Ummu Abdullah dan dilaqobi dengan ash-Shidqiyah. Dan kita umat Nabi Muhammad mengenalnya dengan ummul mukminin (ibunya orang-orang beriman). Nabi memanggilnya dengan Humaira, karena putihnya kulit beliau. Ibunya adalah Ummu Ruman bin Amir bin Uwaimir al-Kinaniyah radhiallahu ‘anha.

Di Masa Jahiliyah

Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha lahir setelah risalah Islam diturunkan. Artinya, beliau tidak sempat mengalami fase jahiliyah dalam kehidupannya. Beliau terlahir dalam sebagai muslimah karena kedua orang tuanya telah memeluk Islam. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Urwah bin az-Zubair bahwa Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

لم أعقل أبوي إلا وهما يدينان الدين

“Aku belumlah berusia baligh ketika kedua orang tuaku sudah memeluk Islam.”

Menikah

Aisyah dilahirkan di rumah yang penuh cahaya keimanan. Kedua orang tuanya yang merupakan sahabat terbaik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pembimbingnya. Ia tumbuh dengan bimbingan agama yang mulia dan pengajaran budi pekerti yang luhur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melamar Aisyah saat ia berusia tujuh tahun. Dan menikahinya saat berusia sembilan tahun. Sebagian orang mungkin terheran-heran dengan usia Aisyah saat dinikahi Rasulullah. Keheranan tersebut dikarenakan ia mengukur kondisi zaman dulu dengan tradisi yang berlaku di zaman sekarang. Padahal Abu Jahal sekalipun tidak pernah mencela pernikahan ini. Kita tahu sendiri, Abu Jahal akan memanfaatkan setiap peluang untuk mencari cela yang ada pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena usianya yang sangat muda, tidak heran setelah menikah dengan Rasulullah kita mendapati riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa Aisyah masih suka bermain-main layaknya anak kecil. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah pernah menemuiku saat aku bermanin dengan anak-anak perempuan. ‘Apa ini hai Aisyah?” tanya beliau. Kujawab, ‘Ini adalah kudanya Sulaiman’. Beliau pun tertawa.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai istrinya yang masih belia ini. Beliau berpesan kepada ibu Aisyah, Ummu Ruman, “Hai Ummu Ruman, aku menitipkan Aisyah agar engkau membimbingnya dengan baik. Dan jagalah untukku apa yang ada padanya.” Rasulullah sangat senang berjumpa dengannya. Beban yang beliau rasa menjadi hilang dengan menemuinya.

Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melangsungkan resepsi pernikahan dengan Aisyah. Beliau mulai berumah tangga dengannya. Kota Madinah pun turut merasa bahagia dengan kebahagiaan keduanya. Setelah sebelumnya mereka bergembira dengan kemenangan di Perang Badar. Pernikahan ini dilaksanakan di bulan Syawwal tahun ke-2 H. Sejak saat itulah, Aisyah hidup bersama suaminya, mebina rumah tangga bersama suami terbaik dunia dan akhirat.

Ilmu Yang Luas

Atha bin Abi Rayah berkata, “Aisyah radhiallahu ‘anha adalah orang yang paling fakih (paham agama). Seorang yang paling baik pandangannya dalam permasalahan umat.”

Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah kami para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bingung dalam suatu hadits, niscaya kami bertanya kepada Aisyah, dan pasti kami dapati pengetahuan padanya tentang hal itu.”

Seorang tokoh tabi’in dan keponakan Aisyah, Urwah bin az-Zubair berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang paling tahu tentang halal dan haram. Tentang ilmu, syair, dan ilmu pengobatan melebihi Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha.”

Kedudukan Yang Istimewa

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih nya, dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَـمُـلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ غَيْرُ مَرْيَمَ بِنْتِ عِمْرَانَ، وَآسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ، وَإِنَّ فَضْلَ ‏عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ

”Lelaki yang sempurna jumlahnya banyak. Dan tidak ada wanita yang sempurna selain ‎Maryam bintu Imran dan Asiyah istri Firaun. Dan keutamaan Aisyah dibandingkan ‎wanita lainnya, sebagaimana keutamaan ats-Tsarid dibandingkan makanan lainnya.” ‎‎(HR. Bukhari 5418 dan Muslim 2431).

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,

“كان الناس ‏‏يتحرّون ‏بهداياهم يوم ‏عائشة؛ ‏يبتغون ‏بذلك مرضاة رسول الله ‏صلى الله عليه وسلم

“Orang-orang berusaha memberikan hadiah terbaik di hari pernikahan Aisyah. Dengan hadiah (kado pernikahan) itu mereka berharap keridhaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari Abu Salamah, Aisyah radhiallahu ‘anha bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari bersabda,

يا عائش هذا جبريل يقرئك السلام. قلت: وعليه السلام ورحمة الله، قالت: وهو يرى ما لا نرى.

“Yaa A-isy, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu”. Aku (Aisyah) berkata, “Wa’alaihis-salaam warahmatullaah”. ‘Aaisyah berkata, “Jibril itu melihat sesuatu yang tidak kita lihat.”

Dari Masruq, ia berkata, “Aisyah bercerita radhiallahu ‘anha bercerita kepadaku, ia berkata, ‘Sungguh aku melihat Jibril berada di bagian depan rumahku ini sedang berada di atas kuda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya. Ketika ia masuk, aku berkata, ‘Hai Rasulullah, siapa orang yang aku lihat kau memanggilnya?’ Beliau bertanya, ‘Apakah kau melihatnya?’ ‘Iya’, jawabku. Beliau kembali bertanya, ‘Seperti siapa dia?’ Kujawab, ‘Mirip dengan Dihyah al-Kalbi’. Beliau bersabda, ‘Sungguh kau telah melihat kebaikan yang banyak. Itu adalah Jibril’. Aisyah berkata, ‘Jibril hanya mampir sebentar’. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hei Aisyah, Jibril menyampaikan salam untukmu’. Aku (Aisyah) berkata, ‘Salam juga untuknya. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan’.”

Rasulullah tahu persis perasaan dan ekspresinya Aisyah. Beliau tahu saat Aisyah senang. Dan beliau mengerti saat beliau sedang marah (ngambek). Dari Urwah bin Mas’ud, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Hai anak saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Tidak tersembunyi bagiku kapan kau marah dan kapan engkau ridha.” Aku bertanya, “Dari mana engkau tahu -demi ayah dan ibuku-?” Beliau bersabda, ‘Saat kau ridha, ketika bersumpah kau akan mengatakan ‘Demi Rabbnya Muhammad. Dan saat kau marah, kau akan katakan, ‘Demi Rabnya Ibrahim’. Aku berkata, ‘Anda benar wahai Rasulullah’.”

Pendidik Umat

Sebagaimana kita ketahui, Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha adalah salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena alasan itu pula banyak sahabat dan tabi’in yang berguru kepada beliau. Ada sekitar 299 orang sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits dari beliau.

Setelah dua puluh tujuh tahun Madinah menjadi pusat pemerintahan kaum muslimin, perubahan pun terjadi. Ibu kota daulah islamiyah pindah ke Kufah. Namun, berubahnya keadaan tersebut tidak membuat pamor Madinah sebagai kota ilmu luntur. Para tokoh sahabat membuka majelis-majelis mereka di Madinah. Dan di antara majelis yang paling ramai disinggahi para pelajar adalah sebuah majelis yang berada di dekat rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan pengajar di majelis tersebut adalah ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha.

Banyak ulama dan tokoh terkemuka lahir dari madrasah ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Bahkan salah satu buku hadits yang paling terkenal di dunia Islam, Musnad Imam Ahmad, menghimpun sejumlah besar hadits yang diriwayatkan dari Aisyah. Riwayat dari beliau adalah riwayat terbanyak dalam buku tersebut.

Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau menjadi rujukan utama dalam hadits dan fatwa. Beliau menjadi figur yang diteladani dalam berbagai hal. Keadaan ini terus berlangsung selama masa khulafaur rasyidin hingga beliau wafat.

Wafat

Kapan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha wafat?

Diriwayatkan bahwa Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha wafat pada usia 85 tahun. Pada malam selesa tanggal 27 Ramadhan. Beliau meminta dikuburkan di malam hari. Dan dimakamkan di Baqi’ setelah shalat witir. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu memimpin shalat jenazahnya. Dan yang memasukkan jenazah beliau ke makamnya ada lima orang. Dua orang keponakan beliau: Abdullah dan Urwah, dua orang putra Zubair bin al-Awwam. Kemudian tiga orang cucu Abu Bakar ash-Shidiq: al-Qasim bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar. Dan putra dari saudaranya: Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar, radhiallahu ‘anhum ajma’in.

Biografi Saudah binti Zam’ah

Saudah binti Zam’a Istri yang Taat dan Menyenangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
NAMA DAN NASABNYA

Dia adalah ummul mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-Amiriyyah radhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.

SIFAT-SIFATNYA
Dia termasuk golongan wanita yang agung dan mulia nasabnya. Tergolong para wanita yang cerdas akalnya. Perawakannya tinggi dan besar. Termasuk istri yang menyenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesegaran candanya.

PERNIKAHANNYA DENGAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk Islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan sahabat yang lainnya.

Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba dari Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Saudah dan diterima oleh Saudah dan menikahlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriyah.

Saudah adalah tipe seorang istri yang menynangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana dalam kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim AN-Nakha’i bahwasanya Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena takut kalau keluar darah,” maka tertawalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim berkata, Saudah biasa membuat tertawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan candanya. (Thobaqoh Kubra, 8:54).

Ketika Saudah sudah tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat hendak mencerainya, maka Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah janganlah Engkau menceraikanku. Bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya salah seorang istrinya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Alquran,

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ اْلأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi kedauanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa: 128)

KEUTAMAAN-KEUTAMAANNYA

Aisyah berkata, “Saudah meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia. Dia adalah perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau saat itu aku meminta izin kepadanya lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan.” (Thobaqoh Kubra, 8:54)

Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah bintI Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku.” (Shahih Muslim, 2:1085)

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesediaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika haji wada’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada istri-istrinya, “Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian,” maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Saudah selalu di rumahnya dna tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2:140)

Suatu saat Sa’ad bin Waqqash dan Abd bin Zam’ah saudara laki-laki Saudah berebut seorang anak di hapadan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqqash yang telah diserahkan kepadaku semasa hidupnya, lihatlah kemiripannya dengannya,” Abd bin Zam’ah berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah saudaraku karena dilahirkan di ranjang bapakku dari budak perempuannya,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat anak tersebut dan merasakan kemiripannya yang sangat dengan Utbah bin Abi Waqqash, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dia adalah milikmu wahai Abd. Anak adalah bagi pemilik ranjang, dan yang berzina terhalang darinya, dan berhijablah Engkau darinya wahai Saudah!” Aisyah berkata, “Maka anak itu tidak pernah melihat Saudah sesudah itu.” (Shahih Bukhari,  2:773 no  6749 dan Shahih Muslim, 2:1080)

Aisyah berkata, “Sesudah turun ayat hijab keluarlah Saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya. Dia adalah wanita yang berperawakan tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita yang lainnya. Saat itu Umar melihatnya dan berkata, “Wahai Saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu,” maka lihatlah bagaimana Engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang waktu itu di rumah Aisyah. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah kepadanya seraya berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu,” maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.” (Shahih Bukhari, 1:67 no. 4795 dan Shahih Muslim 4:1709)

Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika Umar mengirim kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagikannya (Thobaqoh Kubra, 8:56 dan Dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah, 7:721).

PERAN SAUDAH BINTI ZAMA’AH DI DALAM PENYEBARAN SUNNAH-SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghafal dan menyampaikan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Nasai.

WAFATNYA

Saudah meninggal di akhir kekhilafan Umar di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.

Biografi Khadijah binti Khuwailid

Dia adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay al-Quraisyiah al-Asadiyah. Ibunya bernama Fatimah binti Zaidah bin Jundub. Beliau dilahirkan di Mekah tahun 68 sebelum hijrah. Ia berasal dari keluarga bangsawan Quraisy. Khadijah dididik dengan akhlak mulia dan terhormat sebagai seorang wanita. Sehingga tumbuhlah ia dengan karakter yang kuat, cerdas, dan menjaga kehormatan.

Nasab Khadijah bertemu dengan nasab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kakek kelima, Qushay. Ia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang pertama yang menerima dakwah Islam. Dan wanita yang paling dicintai beliau.

Khadijah di Masa Jahiliyah

Di masa jahiliyah, sebelum kenal dengan Rasulullah, Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anhu dikenal sebagai seorang wanita yang kaya dan seorang pedagang besar. Ia bekerja sama dengan laki-laki untuk bagi hasil barang dagangannya. Karena laki-lakilah yang terbiasa bersafar ke Syam untuk berdagang. Sedangkan wanita-wanita di masa itu tidak terbiasa keluar-keluar menuju tempat yang jauh. Inilah tradisi Arab kala itu, hal ini juga sesuai dengan sifat menjaga kesucian diri yang beliau miliki.

Hari-hari terus berlalu, hingga beliau mendengar kisah tentang seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah. Seorang laki-laki yang berakhlak mulia. Jujur lagi terpercaya. Jarang sekali terdengar di masa jahiliyah ada seorang laki-laki memiliki sifat sedemikian mulia. Ia kirim seseorang untuk menawarkan kerja sama dagang menuju Syam. Ia berikan barang kualitas super, yang tidak ia percayakan kepada pedagang lainnya.

Ketika Khadijah dan Muhammad telah sepakat bekerja sama, Khadijah menyertakan seorang budak laki-lakinya yang bernama Maisaroh untuk membawa barang dagangan itu hingga ke Syam. Di daerah Romawi itu, Muhammad bin Abdullah berteduh di bawah pohon dekat dengan kuil milik seorang pendeta. Si pendeta datang mendekati Maisaroh. Ia berkata, “Siapa laki-laki yang berteduh di bawah pohon itu?” “Ia seorang laki-laki Quraisy dari penduduk al-Haram”, jawab Maisaroh. Si pendeta berkata lagi, “Tak seorang pun yang singgah di bahwa pohon ini kecuali seorang nabi.”

Kemudian Rasulullah mulai menjual barang dagangannya dan membeli barang lainnya yang beliau inginkan. Sesampainya di Mekah, beliau menemui Khadijah dengan hasil keuntungan dagangnya. Kemudian Khadijah membeli barang bawaannya. Beliau pun mendapatkan untung berkali lipat.

Maisaroh mengabarkan tentang kemuliaan akhlak Muhammad bin Abdullah dan sifat-sifatnya yang istimewa, yang ia lihat saat bersafar bersama. Demikianlah safar, ia menampakkan sesuatu yang tersembunyi dari perangai manusia. Terlebih safar di masa itu yang kendaraan dan keadaannya tidak senyaman sekarang.

Membuka Hati Untuk Laki-Laki Mulia

Sebelumnya Khadijah telah menikah dua kali. Pertama menikah dengan Atiq bin A’id al-Makhzumi, kemudian ia meninggal. Dan yang kedua, dengan Abu Halah bin Nabbasy at-Tamimi, yang juga meninggal. Tapi dari Abu Halah, ia mendapatkan seorang putra yang bernama Hind bin Abu Halah. Setelah itu, Khadijah menutup hatinya dari semua laki-laki. Ia tak ingin lagi menikah dan memutuskan hidup sendiri. Tapi, cerita-cerita tentang Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ia dengar dari orang-orang dan dari Maisaroh menggoyahkan keteguhannya. Ia begitu kagum dengan seorang laki-laki yang begitu mulia akhlaknya. Tidak hanya mendengar, ia pun membuktikkan dan “mengujinya” dengan mengajak kerja sama dalam masalah uang. Semakin tampaklah amanahnya dan sifat-sifat mulia lainnya.

Dari sini dapat kita petik pelajaran, saat tertarik dengan seorang laki-laki atau perempuan, jangan tergesa-gesa menyatakan perasaan padanya. Uji dulu akhlaknya, apakah kebaikan yang disampaikan seseorang tentangnya benar atau hanya kabar burung saja. Khadijah adalah wanita yang cerdas, ia tidak tergesa-gesa. Emosinya stabil. Sehingga ia bisa mengetahui kabar tentang Nabi Muhammad, tanpa membuatnya merasa malu atau jatuh harga dirinya.

Singkat cerita, terjadilah pernikahan antara dua orang yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Khadijah binti Khuwailid. Maharnya adalah 500 dirham. Hal ini semakin menegaskan bahwa jodoh seseorang sesuai dengan keadaan dirinya. Pernikahan ini berlangsung saat Muhammad bin Abdullah belum mendapatkan kedudukan istimewa sebagai seorang nabi dan rasul. Sebelum Muhammad dikenal dan memiliki banyak pengikut. Sebelum Muhammad kaya dan menjadi pemimpin negara. Rumah tangga keduanya berlangsung kurang lebih selama 25 tahun. Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.

Kedua pasangan mulia ini terus bersama hingga Khadijah wafat di usia 65 tahun. Dan Rasulullah berusia 50 tahun. Ini adalah masa terlama kebersamaan nabi bersama istrinya, dibanding dengan istri-istri yang lain. Nabi tak menikahi wanita lain saat bersama Khadijah. Hal itu karena kemuliaan yang dimiliki Khadijah. Ia juga memberi beliau putra dan putri. Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan si bungsu Fatimah adalah buah dari pernikahan keduanya.

Memeluk Islam

Allah Ta’ala menganugerahkan Ummul Mukminin Khadijah hati dan ruh yang suci dan cahaya keimanan. Sehingga ia begitu siap ketika kebaikan datang menghampirinya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu pertama:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” [Quran Al-Alaq: 1].

Nabi segera pulang dalam keadaan takut dan gemetar. Kemudian beliau bertemu dengan istrinya. “Selimuti aku. Selimuti aku.”, kata Nabi. Khadijah menyelimutinya sampai rasa cemasnya sirna. Nabi berkata,

أَيْ خديجة، ما لي لقد خشيت على نفسي

“Khadijah, apa yang terjadi padaku? Aku khawatir terjadi apa-apa pada diriku.” Khadijah menanggapi dengan kalimat yang sangat berarti bagi pskisi Nabi, ia berkata,

كلا أبشر، فوالله لا يخزيك الله أبدًا، فوالله إنك لتصل الرحم، وتصدق الحديث، وتحمل الكلَّ، وتكسب المعدوم، وتقري الضيف، وتعين على نوائب الحق

“Tidak. Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah, engkau adalah seorang yang menyambung silaturahim, jujur ucapannya, memikul kesulitan orang lain, menanggung orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan mendukung usaha-usaha kebenaran.”

Kemudian ia mengajak Nabi menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal. Di masa jahiliyah, Waraqah adalah seorang laki-laki Nasrani. Ia menulis Injil dengan Bahasa Arab. Dan ia sudah tua sampai-sampai buta karena ketuaannya. Ia memberi kabar baik kepada Nabi. Waraqah bercerita bahwa apa yang baru saja beliau jumpai adlaah an-Namus (Jibril) yang juga datang menemui Musa.

Dalam keadaan yang aneh dan membingungkan itu, Khadijah lah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tentu hal ini semakin meringankan beban psikis Nabi. Nabi tak pernah mendengar sesuatu pun dari Khadijah yang membuat beliau tidak suka. Tidak mendustakannya dan membuatnya bersedih. Melalui wanita mulia ini, Allah berikan banyak jalan keluar dan kemudahan untuk beliau. Saat ia pulang mendakwahkan risalahnya, Khadijah selalu membuatnya jiwa kembali teguh dan bersemangat. Meringankan dan membenarkannya di saat orang-orang mendustakannya.

Membayangkan keadaan tersebut. Dan sulitnya merintis dakwah di tengah orang-orang yang mengingkari. Tidak hanya mengingkari, mereka juga memusuhi dan merespon dakwah dengan gangguan. Tapi beliau memiliki istri seperti Khadijah. Yang melapangkan dan tak pernah mengecewakannya sedikit pun. Dari sini kita tahu, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikahi wanita lain selain dirinya saat ia masih hidup.

Wanita Yang Cerdas

Semua sumber-sumber sejarah yang menceritakan biografi Khadijah pasti menukilkan bahwa beliau adalah wanita yang cerdas. Hal itu terlihat dari bagaimana Khadijah meneliti sifat Muhammad bin Abdullah sebelum menjadi nabi dan bagaimana ia mampu bernegosiasi membersarkan usahanya.

Kecerdasarnnya yang lain adalah saat ia ingin menikah dengan Nabi. Ia memilih seorang utusan yang bernama Nafisah bin Maniyah. Wanita ini ia pilih dan tugaskan meneliti Nabi Muhammad setelah pulang dari Syam. Agar ia tidak merasa malu -karena umumnya wanita malu menyatakan perasaan terlebih dahulu-, tampaklah seolah-olah Nabi Muhammad lah yang menginginkan Khadijah dan meminta dirinya untuk menikah dengan beliau.

Setelah menikah, kembali Khadijah memberi ketaladanan dalam kematangan akal dan pikiran. Ia tidak panik tatkala suaminya dalam kebingunan menerima wahyu pertama. Ia jawab dengan yakin bahwa Allah tidak akan menghinakan suaminya. Jawaban itu ia kuatkan dengan alasan-alasan. Sehingga sang suami benar-benar merasa tenang. Tidak cukup sampai di situ, ia bawa suaminya ke Waraqah agar semakin tenang dengan peristiwa ajaib yang tengah terjadi. Perhatikanlah tahapan-tahapan Khadijah dalam menenangkan suaminya dalam menerima wahyu, pasti semakin tampaklah kecerdasan dan kematangan jiwanya.

Membantu Dakwah Islam

Bantuan Ummul Mukminin -setelah taufik dari Allah- terhadap dakwah amatlah banyak. Kalau seandainya kita sebutkan satu saja, sebagai orang pertama yang beriman, tentu itu sudah cukup sebagai keutamaan beliau. Itu sangat penting bagi Rasulullah. Sangat penting untuk beliau diterima di lingkungannya. Karena istrinya adalah orang pertama yang beriman.

Setelah memeluk Islam, beliau korbankan hidupnya. Kehidupan yang tenang dan nyaman, berubah menjadi kehidupan yang menantang dan penuh gangguan. Kehidupan dakwah, jihad, dan pengepungan. Keadaan tersebut sama sekali tak mengurangi cintanya kepada suaminya, bahkan ia bertambah cinta kepada sang suami. Bertambah cinta pula terhadap agama yang ia bawa. Ia senantiasa mendampingi dan mendukungnya mencapai tujuan yang diperintahkan Allah Ta’ala.

Ketika orang-orang Quraisy memboikot dan mengasingkan bani Hasyim ke pinggiran Mekah, Khadijah tak ragu pergi bersama suaminya. Waktu pengasingan dan boikot tersebut bukanlah waktu yang singkat. Bani Hasyim begitu menderita, kekurangan makanan, sampai-sampai mereka makan dedaunan karena tak ada makanan. Mereka seolah-olah akan mati kelaparan. Bayangkan! Quraisy memboikot mereka dengan tidak menikahi mereka, tidak membeli atau menjual sesuatu kepada mereka selama tiga tahun. Penderitaan seperti apa yang akan terjadi kalau demikian keadaannya? Dalam keadaan tersebut, Khadijah yang bukan bagian dari Bani Hasyim, tetap menemani sang suami. Padahal ia dulunya wanita kaya dan berkecukupan. Inilah jalan dakwah, tidak mudah. Sehingga pasangan hidup orang-orang yang meniti jalan dakwah pun adalah orang-orang yang tangguh. Sekali lagi, inilah di antara alasan nabi senantiasa mengenangnya dan tidak melakukan poligami saat bersamanya. Sekali lagi kita renungkan pula, jodoh seseorang itu sekadar kualitas dirinya.

Keutamaan Khadijah

Pertama: Wanita terbaik

Tidak diragukan lagi, wanita dengan keadaan demikian adalah wanita yang terbaik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lisannya sendiri memuji kemuliaan Khadijah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ العَالَمِينَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Cukup bagimu 4 wanita terbaik di dunia: Maryam bintu Imran (Ibunda nabi Isa), Khadijah bintu Khuwailid, Fatimah bintu Muhammad, dan Asiyah Istri Firaun.” (HR. Ahmad 12391, Turmudzi 3878, dan sanadnya dishahihkan Syuaib Al-Arnauth)

Kedua: Allah menitip salam untuknya melalui Jibril

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan: ‘Pada suatu ketika Jibril mendatangi Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sambil mengatakan pada beliau:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا صَخَبَ فِيهِ وَلَا نَصَبَ » [أخرجه البخاري و مسلم]

“Wahai Rasulallah shalallahu’alaihi wa sallam, Ini Khadijah telah datang. Bersamanya sebuah bejana yang berisi lauk, makanan, dan minuman. Jika dirinya sampai katakan padanya bahwa Rabbnya dan diriku mengucapkan salam untuknya. Dan kabarkan pula bahwa untuknya rumah di surga dari emas yang nyaman tidak bising dan merasa capai.” (HR. Bukhari no: 3820. Muslim no: 2432).

Ketiga: Nabi menganggap mencintainya adalah karunia.

Setelah mengetahui bagaimana setianya ibunda Khadijah menemani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu kita paham bagaimana kedudukan beliau di sisinya. Hal itu juga tampak dari riwayat-riwayat betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menyebut namanya. Memuliakan teman-temannya sepeninggal beliau. Sampai-sampai Rasulullah ucapkan sebuah kalimat di hadapan Aisyah, yang menjelaskan kedudukan Khadijah di hati beliau.

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

“Sungguh Allah telah menganugrahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah.” (HR. Muslim no 2435).

Wafatnya

Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anhu wafat tiga tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Saat itu beliau berusia 65 tahun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang turun memakamkan jenazah sang istri tercinta. Dengan tangannya yang mulia, beliau memasukkan jenazahnya ke kuburnya.

Wafatnya Ummul Mukminin Khadijah sangat berdekatan waktunya dengan wafatnya Abu Thalib. Rasulullah benar-benar merasa sedih dengan wafatnya dua orang yang beliau cintai ini. Dua orang penolong dakwahnya. Ditambah lagi, sang paman wafat dalam keadaan berada di atas agama nenek moyangnya. Karena begitu sedihnya Rasulullah, tahun ini pun dinamakan Tahun Kesedihan.

Biografi Ibnul Qayyim

Beliau adalah murid senior Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lahir pada 7 Safar 691 H. Hubungan keduanya sangat dekat, bahkan dipenjara bersama dan terjun di medan jihad bersamanya. Ibnul Qayyim merupakan imam besar ahlussunnah wal jama’ah yang mewarisi keilmuan, adab, dan akhlak sang guru. Karya ilmiyahnya sangat fenomenal dalam berbagai cabang ilmu syariat, thibbun nabawi, serta untaian nasehatnya sangat menyentuh hati.

Sebagai figur murid yang bermulazamah dengan Syaikhul Islam, sangat memesona sekali adab mulia beliau dalam menyifati Ibnu Taimiyyah sebagai sosok yang berwibawa, fakih, pemberani, sekaligus teladan maupun idola Ibnul Qayyim. Beliau sangat menghargai dan menghormati gurunya dengan segenap cinta karena ketawaduan dan ketaatannya pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Simak kisah indah sebagaimana penuturan beliau: “Demi Allah ‘Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullah). Padahal kondisi beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah ‘Azza wa Jalla), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman, dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tetapi di sisi lain, (aku mendapati) beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya, serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Dan kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah rahimahullah), jika ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat). Dengan hanya memandang (wajah) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin, dan tenang.” (Kitab al-Wabilush Shayyib hlm. 67, cet. Darul Kitabil ‘Arabi)

Allahu Akbar! Sebuah pengalaman hidup yang menakjubkan, sosok imam yang mampu memotivasi, menyemangati, serta teladan dalam ilmu, amal, dakwah, dan kesabaran. Kekaguman dan pujian seorang murid yang sangat menghormati gurunya karena memang sangat pantas beliau dimuliakan karena kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nasehat spiritualnya sangat berkesan dan mampu mendongkrak iman hingga melejitkannya dalam level tertinggi.

Ibnul Qayyim berkata: “Sekali waktu pernah Syaikhul Islam mengatakan kepadaku: “Rintangan dan ujian itu ibarat panas dan dingin, kalaulah seorang yakin bahwa ia harus menghadapinya, niscaya kedatangannya tidak akan membuatnya marah dan ia pun tidak akan sedih dan risau karenanya.”” (Madarijus Salikin, II/389).

Ibnul Qayyim begitu tergugah keteguhan imannya, tatkala memandang wajah sang guru, begitu teduh, memancarkan aura kebahagiaan, meskipun hidup dalam segala keterbatasan. Inilah imam terkemuka yang begitu gigih membela manhaj dan akidah ahlussunnah wal jama’ah dari berbagai makar dan provokasi para penentang Islam. Sungguh sosok yang sangat istimewa yang tak hanya dikagumi murid-muridnya, namun generasi sesudahnya pun menjadikannya teladan, figur terpercaya, dan mampu merepresentasikan dirinya dengan bijak di atas Islam dan sunnah secara sempurna.

Demikian sepenggal pengalaman menakjubkan Ibnul Qayyim dalam berinteraksi dan bermuamalah dengan Syaikhul Islam, semoga menginspirasi kaum muslimin setelahnya agar bisa mengikuti jejaknya. Aamiin.

***