Tag: doa

Doa Cepat Hamil Dan Dikaruniai Anak



Doa Cepat Hamil Dan Dikaruniai Anak

Salah satu tujuan membangun rumah tangga adalah meneruskan garis keturunan. Kehadiaran anak menjadi pelengkap kebahagiaan sebuah keluarga ideal. Keluarga tanpa anak, bak ruang hampa tanpa perabotan.

Terlebih mereka yang memahami keutamaan anak bagi orang tua dalam Islam, sejuta harapan untuk memiliki anak akan senantiasa membayang-bayangi hidupnya. Hanya saja, kenyataan tidak selalu mengikuti harapan. Namun, sebagai orang yang beriman, kita tidak perlu terlalu merisaukan. Karena apapun yang kita alami, tidak akan disia-siakan. Semua bisa menjadi pahala.

Kuatkan Keyakinan

Kekuatan doa sebanding dengan kekuatan keyakianan. Karena itu, sebelum memohon kepada Allah, kuatkan keyakinan Anda tentang kekuasaan Allah terhadap isi doa yang Anda minta. Ketika Anda hendak memohon keturunan kepada Allah, tanamkan keyakinan secara mendalam bahwa Allah yang mangatur semua keturunan manusia.

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (49) أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Hanya milik Allah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberi anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia memberi anak laki-laki kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Atau Dia memberi sepasang anak perempuan dan laki-laki. Dia juga yang menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki sebagai orang mandul. Sesunguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.” (QS. As-Syura: 49 – 50).

Dengan memahami hal ini, semangat Anda untuk semakin berharap kepada karunia Allah akan menjadi besar. Anda akan semakin bersandar kepada Sang Kuasa dan tidak bosan mengulang-ulang doa dan permohonan kepada-Nya. Dengan semangat ini, diharapkan bisa menjadi sebab Allah memperkenankan doanya. Karena sekali lagi, kekuatan doa itu setingkat dengan kekuatan keyakinan dan semangatnya.

Satu teladan yang membuktikan hal ini dan layak untuk kita tiru, ketabahan Nabi Zakariya ‘alaihis salam. Sampai di usia senja, Allah belum memberikan karunia anak untuk beliau. Namun, beliau tidak pupus harapan, sampaipun dalam kondisi yang membuat orang umumnya putus asa untuk memiliki anak. Dalam Alquran, Allah ceritakan perjuangan doa Nabi Zakariya,

ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا (2) إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا (3) قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا (4) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا (6)

Menyebutkan penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria (2). Tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (3). Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku (4). Sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera (5), yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (6) (QS. Maryam: 2 – 6).

Beliau sudah tua, istri beliau mandul, yang secara logika manusia, mustahil punya keturunan. Tapi bagi Allah lain. Dia Maha Kuasa untuk memberikan apa yang beliau harapkan. Allah mengabulkan doa Zakariya,

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ * فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Ingatlah kisah Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Aku perbaiki isterinya (sehingga dapat mengandung). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 89 – 90).

Kemudian, disamping manfaat di atas, ketika seseorang betul-betul meyakini Allahlah yang mengatur semua keturunan hamba-Nya, dia akan bisa membawa diri dengan baik. Dia akan menerima dan ridha terhadap takdir dan ketetapan Allah. Sehingga sekalipun dia tidak memiliki anak, kesabarannya bisa menjadi sumber pahala baginya.

Banyak Beristighfar

Jangan lupa iringi doa anda dengan banyak beristighfar dan memohon ampun kepada Allah. Karena Allah menjanjikan banyak hal bagi orang yang banyak istighfar, salah staunya adalah anak. Allah menceritakan ajakan Nabi Nuh kepada umatnya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا* يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًا* وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“… istighfarlah kepada Rabb-mu karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan menciptakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-12).

Ada seseorang yang mengadu kepada Imam Hasan al-Bashri –ulama senior dari tabi’in– karena lama tidak punya anak. Orang itu meminta tolong agar Hasan mendoakannya supaya punya anak. Hasan al-Bashri mengatakan, “Perbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah.” Setelah ditanya, mengapa beliau memberi saran untuk banyak istighfar. Belliau menjawab,

ما قلت من عندي شيئاً ؛ إن الله تعالى يقول في سورة نوح :  ‏استغفروا ربكم إنه كان غفاراً ‏….

“Saya tidak menjawab dengan logikaku. Sesungguhnya Allah berfirman di surat Nuh (yang aritnya): istighfarlah kepada Rabb-mu karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun… dst.” (Tafsir al-Qurtubi, 18:302).

Adakah Doa Minta Anak

Beberapa situs dakwah yang peduli sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ditanya tentang doa permohonan anak, mereka menegaskan bahwa tidak ada doa khusus yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

أما التزام دعاء معين تواظب عليه كأنه مطلوب بعينه لطلب الولد واعتقاد سنية ذلك، فهذا لم نقف على ما يدل على مشروعيته

Mengamalkan doa tertentu kemudian dirutinkan, seolah-olah doa itu doa itu secara khusus dianjurkan untuk meminta anak dan diyakini adanya anjuran doa ini, kami belum menjumpai adanya nash yang menunjukkan disyariatkannya doa khusus tersebut (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 43435).

Hanya saja, dalam Alquran, Allah menyebutkan beberapa doa yang dipanjatkan Nabi Zakariya ketika memohon keturunan, dan anda bisa menirunya. Salah satunya doa Zakariya yang Allah sebutkan di surat Al-Anbiya di atas.Bisa juga dengan doa Nabi Ibrahim, yang telah lama menunggu kehadiran anak,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku anak yang shaleh.” (QS. As-Shafat: 100)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya, bolehkah orang yang lama tidak dikaruniai anak memohon kepada Allah denagn doa Zakariya di surat Al-Anbiya.

Jawaban beliau,

Tidak masalah melantunkan doa seperti yang disebutkan. Dan jika dia berdoa dengan selain teks ini, seperti membaca :

اللهم ارزقني ذرية طيبة ، اللهم هب لي ذرية صالحة

“Ya Allah, berilah aku keturunan yang baik, anugrehkanlah aku keturunan yang shaleh.”

Atau doa-doa yang semisal, semuanya baik. Contoh doa lainnya adalah firman Allah

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ

“Ya Allah, anugrehkanlah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Memperkenankan Doa.” (QS. Ali Imran: 38)

(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 8:423).

Semoga Allah memberkahi semua keadaan kita.

Allahu a’lam

Doa Anak Sakit



Doa Anak Sakit

Anak bagaikan permata yang begitu berharga bagi orangtua. Tak ternilai harganya dan senantiasa melekat dalam sanubari ayah ibunya. Hal ini dirasakan oleh setiap orangtua, bahkan oleh seseorang yang paling mulia, Rasulullah n. Demikian pula orang yang paling mulia setelah beliau, Abu Bakr Ash-Shiddiq z. ‘Aisyah x menceritakan:

قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ z يَوْمًا: وَاللهِ، مَا عَلَى الْأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ عُمَرَ، فَلَمَّا خَرَجَ رَجَعَ فَقَالَ: كَيْفَ حَلَفْتُ أَيْ بُنَيَّةُ؟ فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ: أَعَزُّ عَلَيَّ، وَالْوَلَدُ أَلْوَطُ

“Suatu hari, Abu Bakr Ash-Shiddiq z mengatakan, ‘Demi Allah, tak ada seorang pun di atas bumi ini yang lebih kucintai daripada ‘Umar (Umar bin Khaththab z, red.)!’ Ketika Abu Bakr kembali, dia pun bertanya, ‘Bagaimana sumpahku tadi, wahai putriku?’ Aku pun mengatakan kembali apa yang diucapkannya. Kemudian Abu Bakr berkata, ‘Dia memang sangat berarti bagiku, namun anak lebih melekat di dalam hati’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 61: hasanul isnad)

Memang, begitu dalam rasa cinta dan kasih sayang orangtua kepada anaknya. Tak heran, ketika anak sakit, derita yang berat pun turut dirasa oleh orangtua. “Sakit anak derita ibu,” begitu kata sebuah ungkapan.

Tak sampai hati rasanya melihat permata hati terbaring pucat, kehilangan gairah dan keceriaannya, ditambah lagi demam yang tak kunjung reda, diiringi tangisan menahan rasa sakit. Terbang sudah rasanya hati orangtua. Ada sesuatu yang terasa kosong di dalam dada. Ingin rasanya menggantikan sakit dan derita si anak. Ingin rasanya berbuat sesuatu untuk mengenyahkan segala penderitaannya. Namun ternyata kita tak mampu berbuat apa-apa.

Saat-saat seperti ini, kita benar-benar merasakan kelemahan diri kita. Terasa, bukan kita yang kuasa memberikan kesembuhan. Terasa, kita sendiri membutuhkan topangan.

Tentu tak pantas kita berkeluh kesah atas musibah ini. Bahkan yang satu ini harus kita jauhi, karena dapat menjerumuskan kita dalam azab, menjadi bahan bakar jahannam, wal ‘iyadzu billah! Seperti dalam sabda Rasulullah n ketika memberikan wejangan kepada para wanita di hari raya. Dikisahkan oleh Jabir bin ‘Abdillah z:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيْدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ، فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ، وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ، وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ. فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ، فَقَالَتْ: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟

قَالَ: لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ. قَالَ: فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِيْنَ فِي ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Aku menghadiri shalat pada hari raya bersama Rasulullah n, maka beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa adzan maupun iqamat. Kemudian beliau berdiri sambil bertelekan pada Bilal, memerintahkan manusia agar bertakwa kepada Allah, menghasung mereka untuk menaati-Nya, memberi wejangan serta mengingatkan mereka. Kemudian beliau pun berlalu, hingga mendatangi para wanita, lalu memberi wejangan kepada mereka serta mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian adalah bahan bakar Jahannam!” Maka berdirilah salah seorang wanita dari kalangan orang yang terbaik mereka yang di pipinya ada kehitaman, lalu bertanya, “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak berkeluh kesah dan kufur kepada suami.” Maka mulailah mereka bersedekah dengan perhiasan mereka, mereka melemparkan anting-anting dan cincin-cincin mereka ke baju Bilal.” (HR. Muslim no. 885)

Oleh karena itu, di saat himpitan melanda seperti ini, kiranya kita harus mengingat kembali apa kata syariat yang sempurna. Di saat itu pula kita akan mendapatkan bimbingan, arahan, dan nasihat yang begitu sempurna, hingga kita tak putus harapan.

Dalam Al-Qur’an, Allah l telah mengingatkan hamba-hamba-Nya:

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, kekurangan jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mengatakan, ‘Kami ini milik Allah dan kepada-Nya pula kami akan kembali’. Mereka itulah yang mendapatkan kebaikan yang sempurna dan rahmah dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)

Kekurangan jiwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kematian orang-orang yang dicintai, baik anak-anak, karib kerabat maupun sahabat. Juga berbagai penyakit yang menimpa diri seorang hamba ataupun menimpa orang yang dicintainya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 76)

Berbagai cobaan yang disebutkan dalam firman Allah l ini pasti akan menimpa seorang hamba, karena Dzat Yang Maha Mengetahui telah mengabarkannya, sehingga pasti hal itu akan terjadi sebagaimana Allah l kabarkan. Maka ketika musibah itu terjadi, manusia pun terbagi menjadi dua golongan: orang yang sabar dan yang tidak sabar.

Orang yang tidak sabar akan mendapatkan dua musibah; kehilangan orang yang dicintai yang ini merupakan wujud musibah yang menimpanya, dan kehilangan sesuatu yang lebih besar daripada itu, yaitu hilangnya pahala menempuh kesabaran yang diperintahkan oleh Allah l. Dia pun mendapat kerugian dan berkurang pula keimanannya. Hilang pula dari dirinya kesabaran, rasa ridha dan syukur, sehingga yang ada pada dirinya hanyalah kemarahan yang menunjukkan betapa kurang keimanannya.

Sementara orang yang Allah l berikan taufik untuk bersabar saat terjadinya musibah, dia menahan diri agar terhindar dari kemarahan akibat ketidakpuasan, baik yang terungkap dalam ucapan maupun perbuatan. Dia pun mengharap balasan pahala musibah itu dari sisi Allah l. Dia tahu, pahala yang akan didapatkannya dengan kesabaran jauh lebih agung daripada musibah yang menimpanya. Bahkan sebenarnya musibah itu merupakan suatu nikmat, karena bisa menjadi jalan untuk meraih sesuatu yang terbaik baginya dan lebih bermanfaat daripada musibah itu. Dia pun melaksanakan perintah Allah l untuk bersabar dan meraih pahalanya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 76)

Inilah janji Allah l, yang termaktub pula dalam ayat yang lain.

“Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan dicukupi pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)

Sabar. Demikian memang yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang beriman kala ditimpa musibah. Bagaimana tidak, sementara setiap keadaan, baik kelapangan ataupun kesusahan sebenarnya merupakan kebaikan baginya. Demikian yang dikatakan oleh Rasulullah n, seperti yang dinukilkan oleh Suhaib bin Sinan z:

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya setiap perkaranya merupakan kebaikan baginya, dan ini tidak dimiliki siapapun kecuali oleh seorang mukmin: apabila memperoleh kelapangan, dia bersyukur, maka ini kebaikan baginya, dan apabila ditimpa kesusahan, dia bersabar, maka ini pun kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Kebaikanlah yang akan didapat seorang mukmin yang bersabar saat diterpa cobaan. Dengan meyakini hal ini, kita akan berbesar hati. Memang, jika Allah l menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Dia akan menimpakan musibah kepadanya untuk mengujinya sehingga mengangkat derajatnya. Abu Hurairah z mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5645)

Tak lagi ciut nyali kita mendengar keutamaan seperti ini. Terlebih lagi kalau kita menyadari, beratnya cobaan yang menimpa akan membuahkan pahala yang besar pula. Abu Hurairah z pernah menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ

“Sesungguhnya besarnya pahala itu bersama dengan besarnya cobaan. Dan jika Allah mencintai suatu kaum, Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, maka dia akan mendapat ridha dari Allah, dan barangsiapa yang marah, maka dia akan mendapat kemurkaan dari Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2396, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Tak hanya itu keutamaan bersabar atas cobaan. Rasulullah n mengingatkan pula bahwa cobaan yang tengah kita hadapi akan menggugurkan dosa dan kesalahan kita. Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah c meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حَزَنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu kepayahan, penyakit, kegalauan, kesedihan, gangguan ataupun kegundahan, hingga duri yang mengenainya, kecuali Allah akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya dengan musibah itu.” (HR. Al-Bukhari no. 5641, 5642 dan Muslim no. 2573)

Abu Hurairah z juga mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ تَعَالَى وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Senantiasa cobaan itu menimpa seorang mukmin atau mukminah pada dirinya, anak ataupun hartanya, sampai dia bertemu dengan Allah ta’ala dalam keadaan tidak memiliki kesalahan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2399, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: hasan shahih)

Di tengah-tengah kegalauan menghadapi sakit yang diderita sang buah hati, kita berharap, semoga Allah l berikan taufik kepada kita untuk bersabar. Allah l yang membimbing kita untuk menempuh kesabaran, Allah l pula yang memberikan pahala kesabaran itu. Kita pun berharap agar segala kesusahan yang kita alami dapat menjadi jalan bagi kita untuk mendapatkan surga. Abu Hurairah z menukilkan sabda Rasulullah n:

حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“Neraka diliputi oleh berbagai kesenangan dunia, sementara surga diliputi oleh berbagai hal yang tidak menyenangkan di dunia.” (HR. Al-Bukhari no. 6487)

Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan pada saat-saat seperti ini adalah memohon kesembuhan bagi anak kita hanya kepada Allah l. Hanya Allah l semata yang dapat memberikan kesembuhan atas penyakit buah hati kita, sebagaimana kata Khalilur Rahman, Ibrahim q yang termaktub dalam Al-Qur’an:

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku.” (Asy-Syu’ara: 80)

Dengan penuh harap kita memohon kepada Allah l bagi anak kita, disertai keyakinan bahwa Allah l akan mengabulkan doa kita. Abu Hurairah z menyampaikan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)

Akan lebih ringan terasa beban berat yang kita alami dengan menyimak kembali bimbingan Allah l dan Rasul-Nya n ini. Semoga kegundahan ini akan berakhir kelak dengan sesuatu yang lebih berarti.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Doa Akhir Ramadhan



Doa Akhir Ramadhan

Tidak terasa sudah sebulan kita menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Dan saatnya kita berpisah dengan bulan yang penuh barokah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan Allah, serta bulan di mana banyak yang dibebaskan dari siksa neraka. Pada pembahasan kali ini, kami mengangkat sebuah pelajaran yang cukup berharga yang kami olah dari kitab Latho-if Al Ma’arif karangan Ibnu Rajab Al Hambali dengan judul “Wadha’ Ramadhan” (Perpisahan dengan Bulan Ramadhan), juga terdapat beberapa tambahan pembahasan dari kitab lainnya. Semoga kalimat-kalimat yang secuil ini bermanfaat bagi kita semua.

Sebab Ampunan Dosa di Bulan Ramadhan

Saudaraku, jika kita betul-betul merenungkan, Allah begitu sayang kepada orang-orang yang gemar melakukan ketaatan di bulan Ramadhan. Cobalah kita perhatikan dengan seksama, betapa banyak amalan yang di dalamnya terdapat pengampunan dosa. Maka sungguh sangat merugi jika seseorang meninggalkan amalan-amalan tersebut. Dia sungguh telah luput dari ampunan Allah yang begitu luas.

Cobalah kita lihat pada amalan puasa yang telah kita jalani selama sebulan penuh, di dalamnya terdapat ampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[1]

Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[2]

Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[3]

Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[4]

Amalan-amalan tadi akan menghapuskan dosa dengan syarat apabila seseorang melakukan amalan tersebut karena (1) iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan (2) mencari pahala di sisi Allah, bukan melakukannya karena alasan riya’ atau alasan lainnya.[5]

Adapun pengampunan dosa di sini dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[6] Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Antara shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”[7] Yang dimaksud dengan pengampunan dosa dalam hadits riwayat Muslim ini, ada dua penafsiran:

Pertama, amalan wajib (seperti puasa Ramadhan, -pen) bisa memnghapus dosa apabila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Apabila seseorang tidak menjauhi dosa-dosa besar, maka amalan-amalan tersebut tidak dapat mengampuni dosa baik dosa kecil maupun dosa besar.

Kedua, amalan wajib dapat mengampuni dosa namun hanya dosa kecil saja, baik dia menjauhi dosa besar ataupun tidak. Dan amalan wajib tersebut sama sekali tidak akan menghapuskan dosa besar.[8]

Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama bahwa dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar bisa terhapus hanya melalui taubatan nashuhah (taubat yang sesungguhnya).[9]

Adapun pengampunan dosa pada malam lailatul qadar adalah apabila seseorang mendapatkan malam tersebut, sedangkan pengampunan dosa pada puasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) adalah apabila bulan Ramadhan telah sempurna (29 atau 30 hari). Dengan sempurnanya bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu dari amalan puasa dan amalan shalat tarawih yang ia laksanakan.[10]

Selain melalui amalan puasa, shalat malam di bulan Ramadhan dan shalat di malam lailatul qadar, juga terdapat amalan untuk mendapatkan ampunan Allah yaitu melalui istighfar. Memohon ampun seperti ini adalah di antara bentuk do’a. Dan do’a orang yang berpuasa adalah do’a yang mustajab (terkabulkan), apalagi ketika berbuka.[11]

Begitu pula pengeluaran zakat fithri di penghujung Ramadhan, itu juga adalah sebab mendapatkan ampunan Allah. Karena zakat fithri akan menutupi kesalahan berupa kata-kata kotor dan sia-sia. Ulama-ulama terdahulu mengatakan bahwa zakat fithri adalah bagaikan sujud sahwi (sujud yang dilakukan ketika lupa, -pen) dalam shalat.[12]

Jadi dapat kita saksikan, begitu banyak amalan di bulan Ramadhan yang terdapat pengampunan dosa, bahkan itu ada sampai penutup bulan Ramadhan. Sampai-sampai Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”[13]

Seharusnya Keadaan Seseorang di Hari Raya Idul Fithri Seperti Ini

Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka seseorang di hari raya Idul Fithri, ketika dia kembali berbuka (tidak berpuasa lagi) seharusnya dalam keadaan bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya bersih dari dosa. Namun hal ini dengan syarat, seseorang haruslah bertaubat dari dosa besar yang pernah ia terjerumus di dalamnya, dia bertaubat dengan penuh rasa penyesalan.

Lihatlah perkataan Az Zuhri berikut, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”

Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[14]

Selepas Ramadhan, Para Salaf Khawatir Amalannya Tidak Diterima

Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (Qs. Al Mu’minun: 60)

‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”

Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”

Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih ku khawatirkan daripada banyak beramal.”

Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”

Oleh karena itu sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”

Lihat pula perkataan ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berikut tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan  kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.”

Itulah kekhawatiran para salaf. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka.

Bagaimana Mungkin Mendapatkan Pengampunan di Bulan Ramadhan?

Setelah kita melihat bahwa di bulan Ramadhan ini penuh dengan pengampunan dosa dari Allah Ta’ala, namun banyak yang menyangka bahwa dirinya kembali suci seperti bayi yang baru lahir selepas bulan Ramadhan, padahal kesehariannya di bulan Ramadhan tidak lepas dari melakukan dosa-dosa besar. Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan amalan puasa, shalat malam dan menghidupkan malam lailatul qadar. Namun ingatlah bahwa pengampunan tersebut bisa diperoleh bila seseorang menjauhi dosa-dosa besar. Lalu bagaimanakah dengan kebiasaan sebagian kaum muslimin yang berpuasa namun menganggap remeh shalat lima waktu, bahkan seringkali meninggalkannya ketika dia berpuasa padahal meninggalkannya termasuk dosa besar?!

Sebagian kaum muslimin begitu semangat memperhatikan amalan puasa, namun begitu lalai dari amalan shalat lima waktu. Padahal dengan sangat nyata dapat kami katakan bahwa orang yang berpuasa namun enggan menunaikan shalat, puasanya tidaklah bernilai apa-apa. Bahkan puasanya menjadi tidak sah disebabkan meninggalkan shalat lima waktu.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa kekafiran dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Qs. At Taubah: 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”[15]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” [16]”[17] Namun ini nyata terjadi pada sebagian orang yang menunaikan puasa. Mereka begitu semangat menunaikan puasa Ramadhan, namun begitu lalai dari rukun Islam yang lebih penting yang merupakan syarat sah keislaman seseorang yaitu menunaikan shalat lima waktu. Hanya Allah lah yang memberi taufik.

Lalu seperti inikah Idul Fithri dikatakan sebagai hari kemenangan sedangkan hak Allah tidak dipedulikan? Seperti inikah Idul Fithri disebut hari yang suci sedangkan ketika berpuasa dikotori dengan durhaka kepada-Nya? Kepada Allah-lah tempat kami mengadu, semoga Allah senantiasa memberi taufik. Ingatlah, meninggalkan shalat lima waktu bukanlah dosa biasa, namun dosa yang teramat bahaya.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah– mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” [18] Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah– berkata,  “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”[19]

Itulah kenyataan yang dialami oleh orang yang berpuasa. Kadang puasa yang dilakukan tidak mendapatkan ganjaran apa-apa atau ganjaran yang kurang dikarenakan ketika puasa malah diisi dengan berbuat maksiat kepada Allah, bahkan diisi dengan melakukan dosa besar yaitu meninggalkan shalat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”[20] Jika demikian, di manakah hari kemenangan yang selalu dibesar-besarkan ketika Idul Fithri? Di manakah hari yang dikatakan telah suci lahir dan batin sedangkan hak Allah diinjak-injak? Lalu apa gunanya minta maaf kepada sesama begitu digembar-gemborkan di hari ied sedangkan permintaan maaf kepada Rabb atas dosa yang dilakukan disepelekan?

Takbir di Penghujung Ramadhan

Karena begitu banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, kita diperintahkan oleh Allah di akhir bulan untuk bertakbir kepada-Nya dalam rangka bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut,  para ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama, takbir tersebut adalah ketika malam idul fithri.
Pendapat kedua, takbir tersebut adalah ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fithri.
Pendapat ketiga, takbir tersebut dimulai ketika imam keluar untuk melaksanakan shalat ied.
Pendapat keempat, takbir pada hari Idul Fithri.
Pendapat kelima yang merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, takbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat ‘ied.
Pendapat keenam yang merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, takbir tersebut adalah ketika Idul Adha dan ketika Idul Fithri tidak perlu bertakbir.[21]

Syukur di sini dilakukan untuk mensyukuri nikmat Allah berupa taufik untuk melakukan puasa, kemudahan untuk melakukannya, mendapat pembebasan dari siksa neraka dan ampunan yang diperoleh ketika melakukannya. Atas nikmat inilah, seseorang diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah, bersyukur kepada-Nya dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa.

Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa sebenar-benarnya takwa adalah mentaati Allah tanpa bermaksiat kepada-Nya, mengingat Allah tanpa lalai dari-Nya dan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, tanpa kufur darinya.[22]

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd. Di penghujung bulan Ramadhan ini, hanyalah ampunan dan pembebasan dari siksa neraka yang kami harap-harap dari Allah yang Maha Pengampun. Kami pun berharap semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan, walaupun kami rasa amalan kami begitu sedikit dan begitu banyak kekurangan di dalamnya. Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian). Semoga Allah menjadi kita insan yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat (Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna). Wa shallallahu wa salaamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Footnote:

[1]  HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760.
[2]  Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 372, Daar Ibnu Katsir [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]
[3]  HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759
[4]  HR. Bukhari no. 1901.
[5]  Lihat Fathul Bari, 6/290, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
[6]  Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 372 dan Fathul Baari, 6/290
[7]  HR. Muslim no. 233.
[8]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 372
[9]  -Idem-
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 373
[11]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 378
[12]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 383
[13]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 378
[14]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 373-374
[15]  HR. Muslim no. 82
[16]  HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani
[17]  Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 17/62, Asy Syamilah
[18]  Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir.
[19]  Al Kaba’ir (Ma’a Syarhi Li Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin), Al Imam Adz Dzahabiy, hal. 25, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[20]  HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya
[21]  Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 1/239, Mawqi’ At Tafasir, Asy Syamilah
[22]  Latho-if Al Ma’arif, hal. 381

Doa Adzan



Doa Adzan

Ada lima amalan yang semestinya diamalkan ketika mendengar azan. Apa saja itu?

Lima amalan tersebut telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim sebagai berikut:

(1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muadzin.

(2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Allahumma sholli ‘ala Muhammad atau membaca shalawat ibrahimiyyah seperti yang dibaca saat tasyahud.

(3) minta pada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah: Allahumma robba hadzihid da’watit taammah wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah …

(4) membaca: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash.

(5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan. (Lihat Jalaa-ul Afham hal. 329-331)

Dalil untuk amalan nomor satu sampai dengan tiga disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

“Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat padanya (memberi ampunan padanya) sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku. Karena wasilah itu adalah tempat di surga yang hanya diperuntukkan bagi hamba Allah, aku berharap akulah yang mendapatkannya. Siapa yang meminta untukku wasilah seperti itu, dialah yang berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 384).

Adapun meminta wasilah pada Allah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa mengucapkan setelah mendengar adzan ‘allahumma robba hadzihid da’watit taammah wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah’ [Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan syafa’atku kelak.” (HR.Bukhari no. 614 )

Ada juga amalan sesudah mendengarkan azan jika diamalkan akan mendapatkan ampunan dari dosa. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

“Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 386)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa seseorang pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya muadzin selalu mengungguli kami dalam pahala amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ

“Ucapkanlah sebagaimana disebutkan oleh muadzin. Lalu jika sudah selesai kumandang azan, berdoalah, maka akan diijabahi (dikabulkan).” (HR. Abu Daud no. 524 dan Ahmad 2: 172. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Artinya, doa sesudah azan termasuk di antara doa yang diijabahi.

Setelah menyebutkan lima amalan di atas, Ibnul Qayyim berkata, “Inilah lima amalan yang bisa diamalkan sehari semalam. Ingatlah yang bisa terus menjaganya hanyalah as saabiquun, yaitu yang semangat dalam kebaikan.” (Jalaa-ul Afham, hal. 333).

Mari kita amalkan walaupun sederhana, yang penting rutin dan istiqamah. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Doa Asmaul Husna



Doa Asmaul Husna

Berbicara tentang keindahan Asmâ-ul Husnâ (nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah) berarti membicarakan suatu kemahaindahan yang sempurna dan di atas semua keindahan yang mampu digambarkan dan terbetik oleh akal pikiran manusia.

Betapa tidak, Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah dzat maha indah dan sempurna dalam semua nama dan sifat-Nya, yang karena kemahaindahan dan kemahasempurnaan inilah maka tidak ada seorang makhluk pun yang mampu membatasi pujian dan sanjungan yang pantas bagi kemuliaan-Nya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam sebuah doa beliau yang terkenal:

لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[1]

Maka, sebagaimana kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang tidak terbatas, demikian pula pujian dan sanjungan bagi-Nya pun tidak terbatas, karena pujian dan sanjungan itu sesuai dengan dzat yang dipuji. Oleh karena itu, semua pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada-Nya bagaimanapun banyaknya, panjang lafazhnya dan disampaikan dengan penuh kesungguhan, maka kemuliaan Allâh Jalla Jalaluhu lebih agung (dari pujian dan sanjungan tersebut), kekuasaan-Nya lebih mulia, sifat-sifat kesempurnaan-Nya lebih besar dan banyak, serta karunia dan kebaikan-Nya (kepada makhluk-Nya) lebih luas dan sempurna[2] .

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan dalam al-Qur`ân bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang mampu membatasi dan menuliskan dengan tuntas semua bentuk keagungan dan keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bagaimanapun besar dan luasnya makhluk tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabbku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula) [al-Kahfi/18:109]

Dalam ayat lain, Allâh Jalla Jalaluhu juga berfirman:

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Luqmân/31:27]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan tentang keagungan, kebesaran dan kemuliaan-Nya, serta nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan kalimat-kalimat-Nya yang maha sempurna, yang tidak mampu diliputi oleh siapapun (dari makhluk-Nya), serta tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekat dan mampu membatasi (menghitung)nya, sebagaimana disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam…Kemudian Ibnu Katsîr rahimahullah menyebutkan hadits di atas…Arti ayat ini adalah seandainya semua pohon (yang ada di) bumi dijadikan pena dan lautan (di bumi) dijadikan tinta dan ditambahkan lagi tujuh lautan (yang seperti itu) bersamanya, untuk menuliskan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan-Nya, serta (kesempurnaan) sifat-sifat-Nya, maka (niscaya) akan hancur pena-pena tersebut dan habis air lautan (tinta) tersebut (sedangkan kalimat-kalimat keagungan dan kemuliaan-Nya tidak akan habis)”[3] .

ARTI KEMAHAINDAHAN DALAM ASMA-UL HUSNA

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allâh-lah asmâ-ul husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180]

Pengertian al-Husnâ (maha indah) dalam ayat ini adalah yang kemahaindahannya mencapai puncak kesempurnaan, karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada padanya celaan (kekurangan) sedikit pun dari semua sisi [4] .

Misalnya, nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala “al-Hayyu” (Yang Maha Hidup), nama ini mengandung sifat kesempurnaan hidup yang tidak berpermulaan dan tidak akan berakhir. Sifat hidup yang sempurna ini mengandung konsekwensi kesempurnaan sifat-sifat lainnya, seperti al-‘ilmu (maha mengetahui), al-qudrah (maha kuasa/mampu), as-sam’u (maha mendengar) dan al-basharu (maha melihat).

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ

Dan bertawakallah kepada Allâh Yang Maha Hidup (Kekal) dan tidak akan mati [al-Furqân/25:58]

Demikian pula nama Allâh Jalla Jalaluhu “al-‘Alîmu” (Yang Maha Mengetahui), nama ini mengandung sifat kesempurnaan ilmu (pengetahuan) yang tidak didahului dengan kebodohan dan tidak akan diliputi kelupaan sedikit pun, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ ۖ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Musa berkata: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku di dalam sebuah kitab, Rabbku (Allâh) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Pengetahuan-Nya maha luas dan meliputi segala sesuatu secara garis besar maupun terperinci, sebagaimana firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan pada sisi Allâh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) [al-An’âm/6:59]

Juga nama-Nya “ar-Rahmân” (Yang Maha Penyayang), nama ini mengandung sifat rahmat (kasih sayang) yang maha luas dan sempurna, sebagaimana yang digambarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Sungguh Allâh lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya”[5][6] .

SEGI-SEGI KEMAHAINDAHAN ASAMA-UL HUSNA

Dîbawakan keterangan beliau di sini beserta keterangan tambahan dari para ulama lainnya.

1. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semuanya mengandung pujian bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada satu pun dari nama-nama tersebut yang tidak mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla seluruhnya maha indah, tidak ada sama sekali satu nama pun yang tidak (menunjukkan) kemahaindahan. Telah berlalu penjelasan bahwa di antara nama-nama-Nya ada yang dimutlakkan (ditetapkan) bagi-Nya ditinjau dari perbuatan-Nya, seperti ‘al-Khâliq’ (Maha Pencipta), ‘ar-Razzâq’ (Maha Pemberi rezki), ‘al-Muhyî’ (Maha menghidupkan) dan ‘al-Mumît’ (Maha Mematikan), ini menunjukkan bahwa semua perbuatan-Nya adalah kebaikan semata-mata dan tidak ada keburukan sama sekali padanya…”[7] .

2. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena semua nama tersebut bukanlah sekedar nama semata, tapi juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Jalla Jalaluhu. Maka nama-nama tersebut semuanya menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, dan masing-masing mengandung sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya[8] .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sesungguhnya nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah adalah a’lâm (nama-nama yang menunjukkan dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan (sekaligus) aushâf (sifat-sifat kesempurnaan bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang dikandung nama-nama tersebut). Sifat-Nya tidak bertentangan dengan nama-Nya, berbeda dengan sifat makhluk-Nya yang (kebanyakan) bertentangan dengan nama mereka…”[9] .

3. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ , semua nama tersebut menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan dan semua sifat itu pada dzat Allâh Azza wa Jalla merupakan sifat paling sempurna, paling luas dan paling agung.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60]

Artinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mempunyai sifat kesempurnaan yang mutlak (tidak terbatas) dari semua segi[10] .

4. Termasuk segi yang menunjukkan kemahaindahan Asmâul Husnâ adalah karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan nama-nama tersebut dan itu merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya, karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai nama-nama-Nya, dan Dia k mencintai orang yang mencintai nama-nama tersebut, serta orang yang menghafalnya, mendalami kandungan maknanya dan beribadah kepada-Nya dengan konsekwensi yang dikandung nama-nama tersebut.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah-lah Asmâul Husnâ (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu [al-A’râf/7:180]

Yang dimaksud dengan berdoa dalam ayat ini adalah mencakup dua jenis doa, yaitu doa permintaan dan permohonan, serta doa ibadah dan sanjungan [11] .

Pengertian doa permohonan (du’âut thalab) adalah berdoa dengan menyebutkan nama Allâh Jalla Jalaluhu yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya. Contohnya, kita berdoa: “Ya Allâh, ampunilah dosa-dosaku dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau adalah al-Ghafûr (Maha Pengampun) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang)”; “Ya Allâh, terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat)”. “Ya Allâh, limpahkanlah rezeki yang halal kepadaku, sesungguhnya Engkau adalah ar-Razzâq (Maha Pemberi rezki)”.

Adapun doa ibadah adalah dengan kita beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang maha indah. Konkretnya, kita bertaubat kepada-Nya karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah at-Tawwâb (Maha Penerima taubat), kita berdzikir kepada-Nya dengan lisan kita karena kita mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah as-Samî’ (Maha Mendengar), kita melakukan amal shaleh dengan anggota badan kita karena mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Bashîr (Maha Melihat), dan demikian seterusnya[12] .

PENUTUP

Demikianlah penjelasan singkat tentang keindahan Asmâul Husnâ, dan tentu saja hakikat keindahannya jauh di atas apa yang mampu digambarkan oleh manusia.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk membantu mereka memahami keindahan dan kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itulah mereka bisa mewujudkan peribadahan kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, karena landasan utama ibadah, yaitu kecintaan kepada-Nya, dan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan baik dan benar.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka dia pasti akan mencintai-Nya”[13] .

Akhirnya, kami tutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya.

Sumber:

[1]. HR. Muslim no. 486
[2]. Keterangan Imam Nawawi t dalam Syarhu Shahîhi Muslim 4/204
[3]. Tafsir Ibnu Katsir 3/596
[4]. Lihat al-Qawâ’idul Mutslâ hlm. 21
[5]. HR. al-Bukhâri no.5653 dan Muslim no.2754
[6]. Lihat al-Qawâ’idul Mutslâ hlm. 21-22
[7]. Badâ-i’ul Fawâ-id 1/171
[8]. Lihat al-Qawâ’idul Mutslâ hlm. 24
[9]. Badâ-i’ul Fawâ-id 1/170
[10]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/756
[11]. Lihat Badâ-i’ul Fawâid 1/172 dan Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 180
[12]. Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 180 dan al-Qawâ‘idul Mutslâ hlm. 17-18
[13]. Madârijus Sâlikîn 3/17

Doa Ayat Kursi



Keutamaan Ayat Kursi

Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.

Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”

Aku pun menjawab,

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)

Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,

“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”

Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,

“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)

Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:

مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُمْسِيَ

“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus)

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ

“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani)

Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.

Tafsir Ayat Kursi

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”

Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.

Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.

Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.

لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ

“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”

Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.

Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.

Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”

Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.

لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ

“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”

Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.

Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:

1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.

Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ

“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”

Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.

وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ

“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”

Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:

الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ

“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)

Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض فَلاَةٍ

“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)

وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا

“Dan Allah tidak terberati  pemeliharaan keduanya.”

Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”

Ia menjawab, “Di langit.”

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”

Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”

Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)

Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.

Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.

Kesimpulan:

1.Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
2.Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan sore, dan sebelum tidur.
3.Penegasan kalimat tauhid.
4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
5. Semua bentuk  kekurangan harus dinafikan dari Allah.
6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
7. Ilmu Allah sangat sempurna.
8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat  yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat makhluk.
9. Arti dan keagungan kursi Allah.
10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan-Nya.
Wallahu a’lam.

Referensi:

Al-Quran dan  Terjemahnya
Tafsir Ibnu Katsir
Fathul Qadir, asy-Syaukani
Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
Shahih al-Bukhari
Shahih Muslim
Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
al-Mustadrak, al-Hakim.
Shahih Ibnu Hibban
Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan ketenangan baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah)

***

Doa Untuk Anak Negeri



Doa Untuk Anak Negeri

Kaum Muslimin, rahimakumullah!

Perlu kita ketahui, bahwa doa adalah senjata seorang Mukmin. Doa bisa bermanfaat, baik untuk hal yang telah terjadi maupun belum terjadi. Doa bisa menolak dan melawan berbagai kesulitan dan bencana.

Dalam berbagai situasi genting, seorang Mukmin tidak akan mencari perlindungan kecuali kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan hal tersebut akan mendatangkan pertolongan dan kecukupan dari Allâh Azza wa Jalla . Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ ، فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللَّهِ بِالدُّعَاءِ

Sesungguhnya doa itu bermanfaat baik untuk apa yang telah terjadi ataupun belum terjadi. Karena itu berdoalah kalian wahai para hamba Allâh!

Memang benar Ma’âsyiral Muslimin! Kita harus berdoa, dengan benar-benar tulus menghiba dan mengharap kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dan di antara doa yang selalu kita minta kepada Allâh Azza wa Jalla adalah kemenangan atas musuh. Karena doa adalah senjata dan bantuan yang tidak mengecewakan, dengan izin Allâh Azza wa Jalla . Panjatkanlah doa ini sebagai amalan rutin setiap malam. Simaklah hadits shahih dari Abu Mas’ud al-Badri Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

“Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari Surat Al-Baqarah pada suatu malam, maka itu akan mencukupinya.” [HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808]

Maksudnya adalah mencukupinya dan menjaganya dari setiap hal buruk.

Dalam ayat tersebut disebutkan doa:

أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir. [Al-Baqarah/ 2: 286]

Artinya Engkaulah Pelindung kaum Mukminin, dengan memberi pertolongan dan penjagaan. Hanya kepada-Mu kami berlindung. Maka berilah kami kemenangan atas kaum kafir.

Bila kita baca sejarah hidup para Nabi dan kaum shalih, akan diketahui bahwa dalam menghadapi kondisi genting, mereka memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla atas musuh dengan doa. Sehingga kemenangan datang; dan jadilah Mukminin mempunyai kedudukan tinggi; dan hilanglah rasa takut.

Di antara contohnya, seperti yang bisa kita resapi dari kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuh g . Beliau berdoa meminta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar diberi kemenangan.

فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ ﴿١٠﴾ فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

Maka dia mengadu kepada Rabbnya, “bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).” Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. [Al-Qamar/ 54: 10-11]

Lihat pula firman Allâh dalam Surat al-Anfâl:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

 (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” [Al-Anfâl/ 8: 9]

Mengenai sebab turunnya ayat ini, Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu meriwayatkan kala menceritakan Perang Badr. Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kiblat, menengadahkan kedua belah tangannya dan berdoa kepada Rabb-nya:

اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي، اللَّهُمَّ آتِنِي مَا وَعَدْتَنِي، اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تَعْبُدْ فِي الْأَرْضِ أَبَدًا

Ya Allâh! Wujudkanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku!
Ya Allâh! Berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku!
Ya Allâh! jika Engkau binasakan tentara Islam ini, Engkau tidak akan diibadahi di muka bumi ini.”

Rasul terus saja menyeru Rabbnya dengan menengadahkan dua tangannya menghadap kiblat, sampai-sampai kain selempang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjatuh dari dua pundaknya. Abu Bakar Radhiyallahu anhu pun datang mengambilnya, dan meletakkannya kembali pada pundak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Abu Bakar Radhiyallahu anhu merapat kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari belakang, seraya berkata:

يَا نَبِيَّ اللَّهِ كَفَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ إِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ

Wahai Nabi Allâh! Cukuplah permohonanmu kepada Rabbmu! Karena Allâh Azza wa Jalla pasti akan menunaikan apa yang telah Dia janjikan.”

Lalu Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat yang artinya: (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu… dan Allâh Azza wa Jalla memberikan bala bantuan dengan mengirim para malaikat.

Hadits ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim.

Kaum Muslimin, rahimakumullah!

Meminta kemenangan dengan doa adalah amalan yang sangat penting sekali, agar kesulitan yang mendera segera sirna dan kemenangan tiba. Di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memohon kemenangan adalah:

اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ، وَمُجْرِيَ السَّحَابِ، وَهَازِمَ الأَحْزَابِ، اِهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ

Ya Allâh, Dzat Yang menurunkan Al-Quran, Yang menggerakkan awan, Yang mengalahkan komplotan tentara (kafir), kalahkanlah mereka dan menangkanlah kami atas mereka!”

Dan di antara dzikir yang paling agung untuk meminta kemenangan atas musuh adalah:

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Cukuplah Allâh menjadi Penolong kami dan Allâh adalah sebaik-baik Pelindung.

Ini adalah kalimat permintaan kemenangan sekaligus tawakkal kepada Allâh. Imam al-Bukhâri rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Itu adalah kalimat yang diucapkan Ibrahim Alaihissallam ketika dilempar ke dalam api; dan diucapkan pula oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika orang-orang berkata.

إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allâh menjadi Penolong kami dan Allâh adalah sebaik-baik Pelindung.” [Ali Imran/ 3: 173]

Kaum Mukminin itu bersaudara. Derita dan harapan mereka satu. Doa mereka akan dikabulkan Allâh Azza wa Jalla. Seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Dan hak Mukmin atas saudaranya sangatlah besar, di antaranya adalah agar ia tulus mendoakan saudara-saudaranya. Agar Allâh Azza wa Jalla memenangkan mereka, menghapuskan keresahan mereka, menjaga darah mereka, dan melindungi mereka dari segala fitnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِم

Sesungguhnya Allâh menolong umat ini tidak lain dikarenakan orang-orang lemah di antara mereka, melalui doa, shalat dan keikhlasan mereka. [HR. An-Nasa’i]

Realita Muslimin saat ini begitu memilukan. Mereka diterjang ujian besar, fitnah yang bergejolak dan konspirasi dari para musuh Islam. Maka sudah sepantasnya agar seorang Muslim tidak lupa untuk mendoakan saudaranya, agar Allâh Subhanahu wa Ta’ala menolong kaum Muslim yang lemah, mencegah tertumpahnya darah mereka, dan memberi mereka keamanan.

Dan hendaknya seorang Mukmin yakin bahwa doa yang tulus akan terkabulkan. Ibnu Taimiyyah t berkata, “Hati yang sungguh-sungguh dari kaum Mukmin, dan doa baik mereka, itulah pasukan yang tidak terkalahkan; bala tentara yang tidak terlantarkan.”

Maka dari itu wahai hamba Allâh yang bertakwa, kita harus merenungkan hal ini. Kita perbanyak doa, meminta diberi kemenangan atas musuh. Agar Allâh menolak serangan musuh, menghancurkan mereka, menjaga kaum Muslimin dari kejahatan mereka, dan menjaga agama Muslimin, juga jiwa, harta dan negeri mereka. Sesungguhnya Allâh Maha Mengabulkan dan tidak mengecewakan yang meminta-Nya.

Doa Menerima Zakat Fitrah



Doa Menerima Zakat Fitrah

Diantara yang banyak dilakukan panitia zakat fithri di negeri kita adalah mewajibkan adanya lafadz ijab-qabul dalam zakat fithri. Lafadz ijab artinya lafadz yang diucapkan pembayar zakat untuk menegaskan perbuatannya membayar zakat fithri, misalnya berkata “saya serahkan beras ini sebagai zakat fithrah saya dan keluarga… dst”. Lafadz qabul artinya lafadz yang diucapkan penerima zakat untuk menegaskan bahwa ia telah menerima zakat tersebut, misalnya berkata “saya terima beras ini sebagai zakat dari Bapak Fulan ….. dst”. Bahkan sebagian panitia ada yang berlebihan sehingga menganggap tidak sah zakat fithri jika tanpa lafadz ijab-qabul. Simak pembahasan berikut.

Zakat adalah sedekah

Perlu diketahui bahwa zakat adalah bentuk sedekah, yaitu sedekah yang wajib. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah:

الصدقة : تطلق بمعنيين : الأول : ما أعطيته من المال قاصدا به وجه الله تعالى فيشمل ما كان واجبا وهو الزكاة ، وما كان تطوعا .

والثاني : أن تكون بمعنى الزكاة ، أي في الحق الواجب خاصة ، ومنه الحديث : ” ليس فيما دون خمس ذود صدقة ” (أخرجه البخاري 3 / 323

“Sedekah, dimutlakkan pada 2 makna: Pertama: harta yang diberikan kepada orang lain dalam rangka mengharap wajah Allah Ta’ala, mencakup yang wajib yaitu zakat, ataupun yang sunnah.
Kedua: maknanya zakat, yaitu sedekah yang wajib secara khusus. Berdasarkan hadits: ‘yang kurang dari lima dzaud tidak terkena sedekah (baca: zakat)‘ (HR. Al Bukhari 3/323)” [selesai]

Perhatikan, dalam hadits tersebut zakat disebut dengan sedekah. Syaikh Abdullah Al Faqih juga mengatakan:

فالزكاة والصدقة لفظان بينهما عموم وخصوص مطلق، أي أن أحدهما أعم وأشمل من الآخر، وهذا الأعم هو الصدقة والزكاة أخص منها، فكل زكاة صدقة وليس كل صدقة زكاة

“Zakat dan sedekah adalah dua kata yang punya hubungan umum dan khusus. Yaitu, salah satunya lebih umum dari yang lain. Yang lebih umum adalah sedekah, dan zakat lebih khusus. Setiap zakat adalah sedekah dan tidak setiap sedekah adalah zakat” (Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=17703)

Sedekah tidak diwajibkan lafadz ijab-qabul
Para ulama menjelaskan bahwa dalam transaksi atau muamalah sedekah, tidak diwajibkan lafadz ijab-qabul. Cukup menyerahkan harta yang disedekahkan kepada penerima sedekah, itu sudah sah. Dalilnya hadits berikut

أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة فجعلها في فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كخ كخ ارم بها أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟

Al Hasan bin Ali mengambil sebuah kurma dari kurma sedekah, lalu meletakkannya di mulutnya. Lalu Rasulullah shallallahu‘alahi wa sallam berkata, “kuh.. kuh.. ayo keluarkan! Tidakkah Engkau tahu bahwa sesungguhnya kita (keluarga Nabi) tidak memakan harta sedekah?” (HR. Muslim).

Al Hafidz Al Iraqi, ulama besar madzhab Syafi’i menjelaskan hadits ini:

فيه أنه لا يشترط في كل من الهدية والصدقة الإيجاب والقبول باللفظ بل يكفي القبض وتملك به فإن سلمان رضي الله عنه اقتصر على مجرد وضعه والنبي صلى الله عليه وسلم إنما سأله ليتميز له الهدية المباحة عن الصدقة المحرمة عليه ولم يوجد من النبي صلى الله عليه وسلم لفظ في قبول الهدية ، وهذا هو الصحيح الذي عليه قرار مذهب الشافعي وقطع به غير واحد من الشافعية واحتجوا بهذا الحديث وغيره من الأحاديث التي فيها حمل الهدايا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فيقبلها ولا لفظ هناك قالوا وعلى هذا جرى الناس في الأعصار ولذلك كانوا يبعثون بها على أيدي الصبيان الذين لا عبارة لهم وفي المسألة وجه لبعض أصحابنا أنه يشترط فيها الإيجاب والقبول كالبيع والهبة والوصية وهو ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه

“dalam hadits ini ada faidah bahwa tidak disyaratkan lafadz ijab-qabul pada hadiah dan sedekah. Bahkan cukup dengan menyerahkannya dan memindahkannya. Karena Salman radhi’allahu’anhu hanya sekedar meletakkan (kurma tersebut). Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya kepada Salman dalam rangka membedakan kurma tersebut hadiah yang mubah ataukah sedekah yang haram (bagi beliau). Tidak ada lafadz qabul dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menerimanya. Inilah yang shahih, yang dipegang oleh madzhab Asy Syafi’i dan ditegaskan oleh lebih dari satu ulama Syafi’iyyah, dan mereka berdalil dengan hadits ini. Dan juga hadits-hadits lain yang menceritakan tentang diberikannya hadiah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan beliau menerimanya tanpa mengucapkan satu lafadz pun. Dan ini lah yang terjadi di masa Nabi ketika itu. Oleh karena itu, mereka biasa memberikan sesuatu kepada anak kecil yang (lafadz ijab-qabul) tidak ada maknanya bagi mereka. Dan dalam masalah ini tidak benar sisi pandang sebagian ulama madzhab Syafi’i yang mensyaratkan lafadz ijab-qabul seperti dalam jual beli, hibah dan wasiat. Dan ini merupakan pendapat Syaikh Abu Hamid Al Ghazali dan murid-murid beliau” (Tharhu At Tatsrib fi Syarh At Taqrib, 4/40).

Juga dijelaskan oleh An Nawawi dalam Raudhatut Thalibin:

أما الهبة فلا بد فيها من الإيجاب والقبول باللفظ كالبيع وسائر التمليكات. وأما الهدية ففيها وجهان أحدهما يشترط فيها الإيجاب والقبول كالبيع والوصية وهذا ظاهر كلام الشيخ أبي حامد والمتلقين عنه والثاني لا حاجة فيها إلى إيجاب وقبول باللفظ بل يكفي القبض ويملك به وهذا هو الصحيح الذي عليه قرار المذهب ونقله الإثبات من متأخري الأصحاب وبه قطع المتولي والبغوي واعتمده الروياني وغيرهم

“adapun hibah, maka wajib dengan lafadz ijab-qabul, seperti jual-beli dan transaksi kepemilikan yang lain. Adapun hadiah, ada dua pendapat: Pertama, disyaratkan lafadz ijab-qabul seperti jual-beli dan wasiat. Ini yang ditegaskan Asy Syaikh Abu Hamid dan murid-murid beliau. Kedua, tidak perlu ada lafadz ijab-qabul, bahkan cukup dengan penyerahan dan sudah terjadi perpindahan kepemilikan. Inilah yang shahih dan menjadi pegangan madzhab Syafi’i, dan dinukil dari para ulama besar Syafi’iyyah muta’akhirin, dan inilah yang ditegaskan oleh Al Mutawalli, Al Baghawi, dan dipegang oleh Ar Ruyani dan lainnya”.

Setelah itu beliau menyatakan:

الصدقة كالهدية بلا فرق فيما ذكرناه

“sedekah sama hukumnya seperti hadiah, tidak ada perbedaan pada apa yang telah kami jelaskan”.

Ijab-Qabul terkadang dengan ucapan terkadang dengan perbuatan
Andaikan mengikuti pendapat ulama yang mensyaratkan adanya ijab-qabul dalam sedekah, maka ijab-qabul tidak mesti berupa ucapan. Namun bisa juga dengan isyarat, atau dengan perbuatan yang menunjukkan ridha dari kedua pihak. An Nawawi dalam Raudhatut Thalibin menyatakan:

ويمكن أن يحمل كلام من اعتبر الإيجاب والقبول على الأمر المشعر بالرضى دون اللفظ ويقال الأشعار بالرضى قد يكون لفظاً وقد يكون فعلاً

“pendapat yang mengatakan wajib ada ijab-qabul mungkin untuk kita bawa kepada konsep bahwa ijab-qabul itu perkara yang dapat dirasakan dengan keridhaan walaupun tidak ada lafadz yang diucapkan. Dan dikatakan bahwa perasaan ridha itu terkadang bisa berupa perkataan, terkadang bisa berupa perbuatan”.

Kesimpulan

Membayar zakat fithri tidak diwajibkan adanya lafadz ijab-qabul, hukumnya sah walau tanpa lafadz ijab-qabul. Apalagi dengan lafadz-lafadz yang ditetapkan sedemikian rupa atau dengan tata-cara tertentu seperti bersalaman atau semisalnya, tidak ada tuntunan demikian. Namun jika dilakukan dengan lafadz ijab-qabul, hukumnya boleh, karena para ulama hanya menjelaskan bahwa itu tidak wajib. Dan lafadz-nya tidak ada ketentuan, bahkan sangat fleksibel. Misalnya pembayar zakat mengatakan, “ini pak zakat fithri dari saya“, lalu penerima zakat menjawab, “baik mas, terima kasih“. Ini sudah merupakan lafadz ijab-qabul.

Atau pun jika hanya ada lafadz ijab saja dari pemberi zakat tanpa jawaban dari penerimanya, atau lafadz qabul saja dari si penerima sedangkan yang memberi tidak berkata apa-apa, ini juga sudah sah. Atau bahkan tanpa ada perkataan apa-apa, cukup penyerahan harta yang dizakatkan, ini juga sah. Sebagaimana dijelaskan para ulama.

Wallahu a’lam.

Bacaan Islami Lainnnya:

– Komik Pahlawan Islam Anas bin Nadhar
– Komik Mantan Napi Berulah Lagi
– Bantuan Dari Allah Saat Kesulitan
– 3 Hal Yang Dilakukan Saat Bangun Untuk Sahur
– Kenapa Dia Begitu Cinta Al-Qur’an

– Hindari Berkata Kotor
– Perang Melawan Hawa Nafsu
– Jangan Mencari Keburukan Orang
– Komik Islami Tentang Cinta
– Jomblo Halu Kepengen Punya Istri

– Komik Islami Pakai Yang Kanan
– Komik Islami Simple
– Jangan Benci Muslimah Bercadar
– Waspada 3 Pintu Menuju Neraka
– Kalau Sholat Jangan Lari Larian

– Perlunya Kerjasama Dalam Rumah Tangga
– Baju Koko Vs Jersey – Komik Islami
– Dunia Hanya Sementara
– Komik Islami Bahasa Inggris
– Komik Islami Tarawih Surat Pendek

– Kisah Pendek Khutbah Jum’at
– Menunggu Punahnya Corona
– Komik Pendek Islami
– Jangan Pernah Menunda Ibadah
– Komik Islami Hitam Putih

– Parno Karena Batuk Corona
– Komik Islami Doa Pejuang Nafkah
– Komik Islami Muslimah Memanah Dan Tahajud
– Komik Islami Hidup Bahagia
– Komik Islami Nasehat Dan Renungan
– Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia Yang Sebenarnya

Selamat Membaca.. Bantu Kami Dengan Donasi.. Dengan Kontak Businessfwj@gmail.com

Doa Tahlil – Hukum Tahlilan Kematian



Hukum Tahlilan Kematian

Pertanyaan.

Assalamu’alaikum. Ada hadits yang menerangkan bahwa Nabi pernah akan mendoa’akan ayahnya yang sudah meninggal, tapi dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla . Kenapa  Banyak orang-orang mengadakan yasinan, tahlilan dengan alasan mendo’akan orang tua yang sudah meninggal. Mereka juga mengatakan bahwa ini merupakan sebentuk perwujudan anak shaleh mendo’akan orang tua. Dan  kyainya menyebutkan bahwa ini acara tradisi. Bolehkah menghadiri acara tersebut ? Kalau tidak, dimana kemungkarannya ? Bagaimana cara mendo’akan yang sesuai sunnah. Terima kasih, wasalam.

Jawaban.

Wa’alaikumussalam. Yang kami ketahui, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memohonkan ampun untuk ibunya tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diidzinkan. Sebagaimana hadits di bawah  ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ  اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur ibunya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya menangis juga. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku meminta idzin kepada Rabbku untuk memohonkan ampun bagi ibuku, tetapi aku tidak diberi idzin. Dan aku meminta idzin kepadaNya untuk menziarahi kuburnya, maka aku diberi idzin.  Maka hendaklah kamu berziarah kubur, karena ziarah kubur itu  bisa  mengingatkan kepada kematian.[HR. Muslim]

Adapun tentang ayah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits sebagai berikut :

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى قَالَ  فِى النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ  إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّارِ

Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, dimanakah ayahku?”, beliau menjawab, “Di dalam neraka”. Ketika dia berpaling, beliau memanggilnya lalu bersabda, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di dalam neraka”. [HR. Muslim]

Untuk menjawab pertanyaan saudara, kami akan membaginya dalam tiga point yaitu :

Bolehkah Menghadiri Acara Yasinan Atau Tahlilan Untuk Mendoakan Orang Yang Telah Mati ?

Jawaban kami untuk pertanyaan ini adalah tidak boleh menghadirinya. Karena hal ini tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kecuali jika dia hadir dalam rangka menjelaskan kemungkarannya, lalu meninggalkannya. Anggapan bahwa itu sebagai aktualisasi dari kebaikan anak yang shalih untuk orang tua, tidak lantas bisa dijadikan legitimasi bagi amalan ini. Karena cara mewujudkan bakti kepada orang tua yang sudah meninggal telah dijelaskan caranya-caranya dalam Islam seperti memohon ampun atau menyambung tali silaturrahim dengan teman dekatnya. Begitu juga klaim, acara ini sebagai tradisi semata, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan amalan ini. Karena faktanya mereka yang melakukan itu berharap pahala dari Allah Azza wa Jalla ketika melaksanakannya bahkan disebagian tempat orang yang tidak melaksanakannya dianggap tidak mau melaksanakan sunnah. Bukankah ini berarti ibadah ? Sementara yang namanya ibadah harus berlandaskan dalil. Kalaupun dianggap sebagai tradisi, maka dalam Islam, tradisi itu boleh dipertahankan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara yasinan yang mereka klaim sebagai tradisi ini ternyata menyelisihi agama Islam yang telah sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang membuat suatu yang baru dalam ajaran kami yang tidak berasal darinya, maka perkara itu tertolak[1]

Dimanakah Letak Kemungkarannya ?

Kemungkaran-kemungkaran amalan ini banyak, diantaranya :

– Yasinan atau tahlilan merupakan bentuk ibadah yang tidak dituntunkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

-Berkumpul di rumah orang yang kena musibah kematian dan apalagi disertai dengan penghidangan makanan dari tuan rumah setelah penguburan merupakan bentuk niyâhah (meratap) yang dilarang oleh agama.

– Jamuan yang diberikan tuan rumah kepada tetamu bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan para tetangga untuk memberi makan kepada keluarga mayit, bukan keluarga mayit yang menghidangkan makanan kepada tetangga.

– Bertentangan dengan akal. Karena orang yang sedang didera kesusahan dengan sebab kematian anggota keluarganya sepantasnya dihibur. Bukan ditambahi beban dengan menghidangkan jamuan buat para tamu, baik tetangga maupun kerabat atau dengan membayar orang yang membacakan al-Qur’ân, tahlil atau doa.

– Mengadakan perayaan untuk kematian, seperti perayaan pada hari ketiga, kesembilan dan seterusnya adalah kebiasaan yang berasal dari ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, selayaknya umat Islam meninggalkannya.

Dan berbagai kemungkaran lainnya yang tidak mungkin disebutkan di sini, karena terkadang jenis kemungkaran ini berbeda-beda sesuai dengan daerahnya.

Bagaimana Cara Yang Benar Dalam Mendo’akan Mayit ?

Sebatas yang kami tahu, cara mendo’akan mayit menurut Sunnah adalah sebagai berikut :

– Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika mendengar berita atau mengetahui kematian seorang muslim.
– Mendo’akan dan memohonkan ampunan saat shalat jenazah.
– Mendo’akan dan memohonkan ampunan ketika ziarah kubur
– Mendoakan dan memohonkan ampunan di setiap ada waktu dan kesempatan, dengan tanpa menentukan waktu, tempat dan tata-cara khusus yang tidak diajarkan oleh Allâh dan RasulNya.

Inilah jawaban kami secara ringkas. Bagi para pembaca yang ingin mendapatkan penjelasan secara rinci bisa meruju’ ke kitab-kita Ulama yang membahas masalah hukum-hukum jenazah, seperti kitab Ahkâmul Janâ‘iz karya syaikh al-Albâni rahimahullah , dan kitab-kitab yang lain.

Footnote

[1] HR Bukhâri dan Muslim

Doa Naik Kendaraan



Doa Naik Kendaraan

Saat mudik jangan lupa berdoa ketika naik kendaraan, baik kendaraan umum maupun milik pribadi, baik kendaraan darat, laut, dan udara. Doa yang diajarkan oleh Rasulullah ‘alahi wa sallam:

بِاسْمِ اللَّهِ

 الْحَمْدُ لِلَّهِ

{ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } { وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنقَلِبُونَ }

(3x) الْحَمْدُ لِلَّهِ

(3x) اللَّهُ أَكْبَرُ

 سُبْحَانَكَ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي، فَاغْفِرْ لِي، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ.

“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Robb kami (di hari kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Maha Suci Engkau Ya Allah, sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”

(HR. Abu Dawud (no.2602), at-Tirmidzi (no.3446), Hadits ini shahihkan oleh Al-Albani dalam kitab Shahih Abu Dawud dan Shahih at-Tirmidzi )