Tag: Khitbah

Larangan Meminang Wanita

Larangan Meminang Wanita Yang Sudah Dipinang • Nasehat Islam
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin Al Hasan, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Hajjaj bin Muhammad, ia berkata; berkata Ibnu Juraij;
saya pernah mendengar Nafi’ menceritakan bahwa Abdullah bin Umar pernah berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sebagian kalian menjual di atas jual beli sebagian yang lain, dan janganlah seseorang meminang di atas pinangan orang lain hingga orang yang meminang sebelumnya meninggalkan pinangannya atau mengizinkan memberikan izin.
√ Hadits Imam Nasa’i

Taaruf Sesuai Syariat Islam

*Ta’aruf Sesuai Syariat*
Tentang ta’aruf, Islam tidak punya aturan khususnya. Kalau kita baca siroh nabawi, bagaimana kisah pernikahan Rasulullah Saw dengan Khadijah, ataupun pernikahan sahabat, maka cara taarufnya beda-beda.
Setiap kita, punya cara masing-masing. Asal tidak melanggar aturan Islam. Adapun yang umumnya bisa dilakukan saat taaruf:
1. Melakukan Istikharoh dengan sekhusyuk-khusyuknya. Setelah pihak laki-laki atau perempuan mendapatkan data dan foto, lakukanlah istikharoh dengan sebaik-baiknya agar Allah SWT memberikan jawaban terbaik. Dalam melakukan istikharoh ini, jangan ada kecenderungan dulu pada calon yang diberikan kepada kita. Tapi ikhlaskanlah semua hasilnya pada Allah SWT.
.
2. Bila sudah saling tukar biodata dan foto, maka selanjutnya tentukan jadwal ketemuan/taaruf. Tapi, sebelumnya sampaikan sama ustadzahnya. Jadi nanti ikhwannya datang bersama ustadz juga. Tempatnya bisa dimana saja. Tapi baiknya di rumah ustadzah tadi.
.
3. Saat ketemuan maka silahkan masing-masing ajukan pertanyaan. Perdalam informasi tentang si calon. Tanyakan visi-misi, hoby, penyakit yang biasa diderita, jumlah saudara, dan informasi lainnya yang dibutuhkan.
.
4. Bila masing-masing sudah cocok, maka selanjutnya ikhwan datang utk taaruf dengan pihak keluarga akhwat.
.
5. Jika kedatangannya diterima, maka tinggal tentukan khitbah.
.
6. Setelah khitbah maka semuanya sudah selesai tinggal menentukan akad nikah dan walimah.  Wallahu a’lam
From : IndonesiaTanpaPacaran

Menerima Lamaran Nikah Dua Kali

Di dalam diri manusia terdapat fitrah perasaan yang sungguh tidak dapat dihindari oleh setiap insan. Allah Ar-Rahman Ar-Rahiim tak sekedar menyematkan fitrah tersebut kedalam hati masing-masing manusia, namun juga telah mempersiapkan tujuan akhir dari perasaan tersebut yaitu pasangan hidup.

Pasangan hidup telah dipersiapkan oleh Allah bagi masing-masing manusia, namun dalam membersamainya tentu diperlukan ikhtiar. Jika saat ini banyak yang mengatakan dengan istilah umum “cari jodoh” atau yang harusnya lebih tepat “jemput jodoh”, maka langkah awal yang harusnya dilakukan yaitu ta’aruf yang dilanjutkan dengan khitbah (lamaran). Lalu bagaimana hukum menerima lamaran nikah dua kali?  Dilarang atau diperbolehkan? Yuk simak ulasannya.

Menolak Lamaran Pertama dan Menerima Lamaran Kedua
Ketika suatu keputusan sudah bulat dan tekad sudah mantap, lewat musyawarah keluarga maupun petunjuk atas istikharah, tak ubahnya seseorang haruslah tetap memilih diantara beberapa pilihan, termasuk dalam hal pasangan hidup. Menurut pendapat yang telah disetujui oleh para ulama fiqih bahwasanya seorang perempuan yang telah menolak lamaran pertama seorang laki-laki, maka perempuan tersebut diperkenankan untuk menerima lamaran kedua jika terdapat laki-laki lainnya yang melamar. Sebagaimana Ibnu Qudamah berkata:

“ Siapa yang telah melamar perempuan namun ditolak, maka kesempatan bagi laki-laki lain untuk melamar perempuan itu.” (Al Mughni, 7/520)

Menggantungkan Lamaran Pertama dan Menerima Lamaran Kedua
Ketika suatu kondisi seorang perempuan belum yakin tentang keputusan menerima lamaran kadangkala lamaran tersebut masih digantungkan, entah karena masih ragu dengan yang melamar atau menunggu ada pihak lain yang melamar. Terdapat beberapa pendapat mengenai hukum seseorang menggantungkan lamaran pertama namun menerima lamaran dari pihak kedua.

Pendapat Pertama, berdasarkan Jumhur Ulama Mazhab Maliki, Hanafi, dan pengrajin yang rajah dalam Mazhab Syafi’I dan Hambali, bahwasanya ketika seorang perempuan belum memberi kepastian terhadap pihak yang melamar pertama kali, maka pihak kedua diperbolehkan melamar perempuan tersebut. (Al-Mudawwamah, 2/494, Al Mukhtar, 2/262, Al-Umm, 5/272, Al Mughni, 7/520)

Pendapat Kedua, berdasarkan pendapat Mazhab Zahiri yaitu ketika perempuan belum memberi kepastian jawabag kepada pihak pelamar pertama (jawaban menerima atau menolak), maka haram hukumya bagi pihak kedua mengajukan lamaran, yaitu sampai perempuan tersebut memberikan kepastian kepada pelamar pertama. (Al-Muhalla, 9/165). Menurut pendapat mazhab ini, hukum haram tersebut bersifat mutlak dan umum, sehingga jika terjadi hal tersebut maka lamaran tersebut rusak dan batal dengan sendiirinya. (Al- Muhalla, 10/33). Hal ini dilandasi pendapat bahwa jika kondisi tersebut terjadi maka dapat merugikan atau menyakiti pihak pertama.

Menerima Lamaran Pertama dan Menerima Lamaran Kedua
Berdasarkan pendapat para ulama fiqih jika dalam suatu kondisi, perempuan sudah menerima lamaran pihak pertama, maka haram hukumnya menerima lamaran pihak kedua, kecuali jika pihak pertama mengizinkan lamaran pihak kedua. Seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya”

“Janganlah seseorang menjual barang yang telah dijual kepada saudaranya dan janganlah melamar perempuan yang telah dilamar saudaranya, kecuali jika mendapatkan izin darinya.” (HR. Muslim No. 2787)

Dalam hadits lainnya yaitu hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.” (HR. Muslim, No. 2519)

Serta dalam hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan, bahwasanya:

“Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diizinkan peminang sebelumnya.” (HR. Bukhari, No: 4746).

Dari hadits tersebut terdapat perbedaan pendapat diantara ulama, yaitu ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut berarti haram namun juga ada sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa larangan tersebut berarti makruh.

Dari uraian tersebut sudah menggambarkan bahwasanya dalam urusan perasaan bukanlah suatu permainan namun merupakan sesuatu yang mutlak harus diberi kepastian. Karena tujuan akhir adalah pernihakan yang mana bernilai ibadah sehingga proses mengawalinya tentu harus sesuai dengan kaidah Islam, untuk memperoleh kebagiaan hakiki, pasangan sehidup sesurga hingga nanti.

Wallahu ’Alam Bisshawab