Tag: komik Islami

Kisah Sahabat Ady bin Hatim Al Tha’i

Para sahabat memiliki kisah yang berbeda dalam hal memeluk Islam. Ada sahabat yang langsung memeluk Islam setelah menerima ajakan dari Nabi Muhammad seperti Abu Bakar as-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib. Ada yang masuk Islam setelah mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an seperti Umar bin Khattab. Ada juga yang mengucapkan dua kalimat syahadat setelah berinteraksi langsung hingga membuatnya terkesan dengan Nabi Muhammad seperti Adi bin Hatim.

Adi bin Hatim adalah anak al-Jawwad. Dia adalah penguasa Suku at-Tha’i yang dikenal pemurah. Adi adalah salah seorang yang membenci dakwah Islam yang disampaikan Nabi Muhammad. Oleh karenanya, ketika dakwah Islam menyebar ke seluruh penjuru jazirah Arab, Adi bin Hatim meninggalkan kaumnya dan hijrah ke negeri Syam. Semula, ia tetap mempertahankan agama nenek moyangnya dan tidak rela menjadi pengikut Nabi Muhammad.

 “Aku benci kedudukan di sana, melebih kebencianku terhadap Muhammad. Seandainya aku menemuinya, jika dia seorang raja atau pendusta, itu akan membuatku takut. Namun, jika dia berkata benar, aku akan mengikutinya,” kata Adi bin Hatim, dikutip dari buku The Great Episodes of Muhammad SAW (Said Ramadhan al-Buthy, 2017). Dari ucapannya tersebut, kebencian Adi bin Hatim kepada Nabi tidak membuatnya kalap dan menutup mata hatinya.

 Nyatanya, di akhir perkataannya dia menegaskan bahwa dirinya akan masuk Islam jika ajaran yang dibawa Nabi benar. Tidak hanya mengaku-ngaku menjadi Nabi saja.  Hingga suatu ketika, Adi bin Hatim ingin bertemu dengan Nabi Muhammad dan pergi ke Madinah. Ia ingin memastikan kebenaran Nabi Muhammad secara langsung. Sesampai di Masjid Nabawi, Adi menyampaikan salam dan kemudian dijawab Nabi. Dia langsung memperkenalkan diri setelah Nabi Muhammad bertanya perihal identitasnya. Nabi lalu mengajak Adi pergi ke rumahnya, yang notabennya hanya beberapa jengkal saja dari Masjid Nabawi. Di tengah jalan, ada seorang wanita tua yang meminta Nabi Muhammad berhenti. Nabi pun berhenti beberapa saat.

Wanita tua tersebut langsung menyampaikan beberapa kebutuhannya kepada Nabi. Melihat kejadian itu, Adi bin Hatim merasa terheran-heran. Dia membatin, bagaimana mungkin seorang raja berperilaku seperti itu. Tidak ada jarak dengan rakyat jelata. Keheranan Adi bin Hatim berlanjut. Saat sampai di rumah Nabi, ia diberikan bantal sebagai tempat duduk, sementara Nabi duduk di tanah tanpa bantal karena memang bantalnya cuma satu. Bagi Nabi, Adi bin Hatim yang merupakan tamunya adalah yang utama. Lagi-lagi Adi bin Hatim membatin, apa yang dilakukan Nabi tersebut bukanlah kebiasaan para raja.  Adi adalah seorang elit di kaumnya. Ia mengira akan mendapatkan sesuatu yang berharga di kediaman Nabi Muhammad. Namun, perkiraannya tersebut meleset. Apa yang didapatinya begitu berbeda dengan apa yang dibayangkannya.

 Dan Nabi Muhammad bukanlah seperti ‘raja’ yang diduganya. Karena memang kebiasaan raja-raja adalah gila harta dan gila penghormatan. Setelah itu, terjadi tanya-jawab antara Nabi Muhammad dan Adi bin Hatim. Adi bin Hatim menjawab tidak tahu ketika Nabi menanyakan perihal tuhan selain Allah dan tuhan yang lebih besar dari pada Allah.  Nabi lalu bertanya perihal agama yang dianut Adi bin Hatim, Rukusiya –agama perpaduan antara Nasrani dan Shabiiyyah, praktik mirba di kaumnya –praktik jahiliyah dimana seorang pemimpin berhak mendapatkan seperempat harta ghanimah. Adi bin Hatim membenarkan semua perkataan Nabi Muhammad itu. Nabi Muhammad kemudian menyampaikan tiga hal yang menghalangi Adi bin Hatim masuk Islam.

 Pertama, penganut ajaran Islam saat itu miskin-miskin. Nabi meyakinkan bahwa tidak lama lagi umat Islam akan memiliki harta yang berlimpah ruah sehingga tidak ada seorang pun yang miskin. Perkataan Nabi ini terbukti pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Azis, dimana saat itu tidak ada seorang pun yang berhak menerima zakat karena umat Islam sudah sejahtera.    Kedua, jumlah umat Islam sedikit, sementara musuhnya lebih banyak. Terkait hal ini, Nabi Muhammad juga meyakinkan kepada Adi bin Hatim bahwa sebentar lagi akan ada berita mengenai seorang wanita yang berangkat dengan mengendarai unta dari Qadisiyyah ke Baitullah Makkah tanpa rasa takut. Lag-lagi apa yang dikatakan Nabi ini menjadi kenyataan. Ketika umat Islam menguasai wilayah tersebut, maka seseorang bisa bepergian dengan aman karena tidak ada lagi penyamun. “(Ketiga) yang menglangimu masuk agama ini adalah engkau menyaksikan bahwa raja dan penguasa bukanlah dari kalangan mereka. Demi Allah, sebentar lagi engkau akan mendengar berita mengenai istana-istana putih dari Babilonia yang kutaklukkan,” kata Nabi. Sesaat setelah itu Adi bin Hatim mengikrarkan diri memeluk Islam.

Kisah Sahabat Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah

Nama lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Wajahnya selalu berseri, matanya bersinar, ramah kepada semua orang, sehingga mereka simpati kepadanya. Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu dan pemalu. Tapi bila menghadapi suatu urusan penting, ia sangat cekatan bagai singa jantan.

Abdullah bin Umar pernah berkata tentang orang-orang yang mulia. “Ada tiga orang Quraiys yang sangat cemerlang wajahnya, tinggi akhlaknya dan sangat pemalu. Bila berbicara mereka tidak pernah dusta. Dan apabila orang berbicara, mereka tidak cepat-cepat mendustakan. Mereka itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Abu Ubaidah termasuk kelompok pertama sahabat yang masuk Islam. Dia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sehari setelah Abu Bakar masuk Islam. Waktu menemui Rasulullah SAW, dia bersama-sama dengan Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk mengucapkan syahadat di hadapan beliau. Oleh sebab itu, mereka tercatat sebagai pilar pertama dalam pembangunan mahligai Islam yang agung dan indah.

Dalam kehidupannya sebagai Muslim, Abu Ubaidah mengalami masa penindasan yang kejam dari kaum Quraiys di Makkah sejak permulaan sampai akhir. Dia turut menderita bersama kaum Muslimin lainnya. Walau demikian, ia tetap teguh menerima segala macam cobaan, tetap setia membela Rasulullah SAW dalam tiap situasi dan kondisi apa pun.

Dalam Perang Badar, Abu Ubaidah berhasil menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Namun tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya. Kemana pun ia lari, tentara itu terus mengejarnya dengan beringas. Abu Ubaidah menghindar dan menjauhkan diri untuk bertarung dengan pengejarnya. Ketika si pengejar bertambah dekat, dan merasa posisinya strategis, Abu Ubaidah mengayunkan pedang ke arah kepala lawan. Sang lawan tewas seketika dengan kepala terbelah.

Siapakah lawan Abu Ubaidah yang sangat beringas itu? Tak lain adalah Abdullah bin Jarrah, ayah kandungnya sendiri! Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, tapi membunuh kemusyrikan yang bersarang dalam pribadi ayahnya.

Berkenaan dengan kasus Abu Ubaidah ini, Allah SWT berfirman: “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujaadalah: 23)

Ayat di atas tidak membuat Abu Ubaidah besar kepala dan membusungkan dada. Bahkan menambah kokoh imannya kepada Allah dan ketulusannya terhadap agama-Nya. Orang yang mendapatkan gelar “kepercayaan umat Muhammad” ini ternyata menarik perhatian orang-orang besar, bagaikan magnet yang menarik logam di sekitarnya.

Pada suatu ketika, utusan kaum Nasrani datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Wahai Abu Qasim, kirimlah kepada kami seorang sahabat anda yang pintar menjadi hakim tentang harta yang menyebabkan kami berselisih sesama kami. Kami senang menerima putusan yang ditetapkan kaum Muslimin.”

“Datanglah sore nanti, saya akan mengirimkan kepada kalian ‘orang kuat yang terpercaya’,” kata Rasulullah SAW.

Umar bin Al-Khathab berujar, “Aku ingin tugas itu tidak diserahkan kepada orang lain, karena aku ingin mendapatkan gelar ‘orang kuat yang terpercaya’.”

Selesai shalat, Rasulullah menengok ke kanan dan ke kiri. Umar sengaja menonjolkan diri agar dilihat Rasulullah. Namun beliau tidak menunjuknya. Ketika melihat Abu Ubaidah, beliau memanggilnya dan berkata, “Pergilah kau bersama mereka. Adili dengan baik perkara yang mereka perselisihkan!”

Abu Ubaidah berangkat bersama para utusan tersebut dengan menyandang gelar “orang kuat yang terpercaya”.

Abu Ubaidah selalu mengikuti Rasulullah berperang dalam tiap peperangan yang beliau pimpin, hingga beliau wafat.

Dalam musyawarah pemilihan khalifah yang pertama (Al-Yaum Ats-Tsaqifah), Umar bin Al-Khathab mengulurkan tangannya kepada Abu Ubaidah seraya berkata, “Aku memilihmu dan bersumpah setia, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya tiap-tiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang paling dipercaya dari umat ini adalah engkau.”

Abu Ubaidah menjawab, “Aku tidak mau mendahului orang yang pernah disuruh Rasulullah untuk mengimami kita shalat sewaktu beliau hidup—Abu Bakar Ash-Shiddiq. Walaupun sekarang beliau telah wafat, marilah kita imamkan juga dia.”

Akhirnya mereka sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah pertama, sedangkan Abu Ubaidah diangkat menjadi penasihat dan pembantu utama khalifah.

Setelah Abu Bakar wafat, jabatan khalifah pindah ke tangan Umar bin Al-Khathab. Abu Ubaidah selalu dekat dengan Umar dan tidak pernah menolak perintahnya. Pada masa pemerintahan Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara Muslimin menaklukkan wilayah Syam (Suriah). Dia berhasil memperoleh kemenangan berturut-turut, sehingga seluruh wilayah Syam takluk di bawah kekuasaan Islam, dari tepi sungai Furat di sebelah timur hingga Asia kecil di sebelah utara.

Abu Ubaidah meninggal dunia karena terkena penyakit menular yang mewabah di Syam. Menjelang wafatnya, ia berwasiat kepada seluruh prajuritnya, “Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini.”

Kemudian dia menoleh kepada Mu’adz bin Jabal, “Wahai Muadz, sekarang kau yang menjadi imam (panglima)!”

Tak lama kemudian, ruhnya meninggalkan jasad untuk menjumpai Tuhannya.

Kisah Sahabat Abu Thalhah Al Anshary (Zaid Bin Sahl)

Abu Thalhah berniat melamar Ummu Sulaim sebagai istrinya, ia pun pergi ke rumah wanita Muslimah baik-baik yang telah menjanda itu. Sesampai di rumah Ummu Sulaim, Abu Thalhah diterima dengan baik. Putra Ummu Sulaim, Anas, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim.

Namun Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah. “Sesungguhnya pria seperti anda, hai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi saya tidak akan kawin dengan anda, karena anda kafir,” ujarnya.

“Demi Allah, apakah yang menghalangimu untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?” tanya Abu Thalhah.

Ummu Sulaim menjawab, “Saksikanlah, hai Abu Thalhah. Aku bersaksi kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika kau masuk agama Islam, aku rela menjadi suamimu tanpa emas dan perak. Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku.”

“Siapa yang harus mengislamkanku?” tanya Abu Thalhah.

“Aku bisa.”

“Bagaimana caranya?”

“Tidak sulit,” kata Ummu Sulaim. “Ucapkan saja dua kalimah syahadat. Tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Setelah itu, kau harus pulang ke rumahmu dan menghancurkan berhala sembahanmu lalu kau buang!”

Abu Thalhah tampak gembira. Ia kemudian mengucapkan dua kalimah syahadat. Setelah itu ia menikahi Ummu Sulaim dengan mahar, agama Islam.

Mendengar berita ini, kaum Muslimin berkata, “Belum pernah kami dengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar Ummu Sulaim. Maharnya masuk Islam.”

Sejak hari itu, Abu Thalhah berada di bawah naungan Islam. Segala daya dan upayanya ia korbankan untuk berkhidmat kepada Islam.

Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk “Kelompok 70” yang bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah di Aqabah. Ia ditunjuk oleh Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari 12 regu yang dibentuk malam itu untuk mengislamkan Yatsrib.

Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam tiap peperangan yang beliau pimpin. Ia mencintai Rasulullah sepenuh hati dan segenap jiwa. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, “Inilah diriku, kujadikan tebusan bagi diri anda, dan wajahku menjadi pengganti wajah anda.”

Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum Muslimin terpecah-belah dan lari tunggang-langgang. Oleh sebab itu, pasukan musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat Rasulullah. Musuh berhasil mencederai beliau, mematahkan gigi, dan melukai bibirnya. Sehingga darah mengalir membahasi wajah Nabi. Lalu kaum musyrikin menyebarkan isu bahwa Rasulullah telah wafat.

Mendengar teriakan kaum musyrikin itu, kaum Muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda meninggalkan Rasulullah. Hanya segelintir orang yang saja yang bertahan, mengawal dan melindungi beliau. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.

Abu Thalhah juga sosok Muslim yang pemurah, ia kerap mengorbankan harta bendanya untuk agama Allah. Ia juga sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan ia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah. Kurang lebih 30 tahun setelah Rasulullah SAW wafat, dia senantiasa berpuasa, kecuali di hari raya. Umurnya mencapai usia lanjut, namun ketuaan tidak menghalanginya untuk berjihad di jalan Allah.

Pada masa Khalifah Utsman, kaum Muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah pun bersiap-siap hendak turut berjihad dengan kaum Muslimin. Anak-anaknya protes. “Wahai ayah, engkau sudah tua, engkau sudah ikut berperang bersama-sama dengan Rasulullah, bersama Abu Bakar dan Umar bin Al-Khathab. Kini ayah harus beristirahat, biarlah kami yang berperang untuk ayah,” kata mereka.

Abu Thalhah menjawab, “Bukankah Allah telah berfirman: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS At-Taubah: 41). Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang.”

Ia pun ikut berperang. Ketika Abu Thalhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal di tengah lautan bersama tentara Muslimin, ia jatuh sakit lalu meninggal dunia. Kaum Muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat pemakaman jenazah Abu Thalhah. Namun setelah enam hari berlayar, barulah mereka menemukan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal, tanpa berubah sedikit pun. Bahkan ia seperti orang yang sedang tidur nyenyak.

Kisah Sahabat Abu Sufyan bin Al Harits

Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthalib adalah putra dari paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Harits. Tidak hanya itu, ia juga merupakan saudara sepersusuan dengan Nabi. Jadi, Abu Sufyan adalah seorang ahlul bait. Kisah keislamannya menarik untuk diceritakan.

Nasabnya

Nasab Abu Sufyan adalah Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay al-Qurasyi al-Hasyimi. Ia adalah putra pertama dari paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Harits bin Abdul Muthalib. Hubungan kekerabatan itu kian dekat, karena Abu Sufyan bin al-Harits juga merupakan saudara sepersusuan Nabi. Keduanya disusui oleh Halimah as-Sa’diyah. Adapun ibu kandungnya bernama Ghaziyah binti Qays.

Sebelum Muhammad bin Abdullah diutus menjadi Rasul, Abu Sufyan sangat dekat sekali dengan beliau. Namun, ketika risalah kenabian datang, ia memusuhi sepupunya ini. Mengecamnya. Dan memfitnah para sahabatnya. Ia memiliki kemahiran yang unggul di masa itu, yaitu penyair (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat al-Kubra 4/36, al-Qurthubi dalam al-Isti’ab 41673, dan Abdul Malik al-‘Ashami dalam Simthu an-Nujum 1/400).

Memeluk Islam

Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah bin al-Mughirah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Tsaniyah al-‘Iqab. Suatu tempat antara Mekah dan Madinah. Keduanya masuk rumah Nabi dan berbincang dengan istri beliau Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, ini ada putra pamanmu, putra bibimu, dan juga iparmu.” Rasulullah menjawab, “Aku tidak berkeperluan dengan keduanya. Putra pamanku telah merusak kehormatanku. Sedangkan putra bibiku sekaligus iparku, sewaktu di Mekah dia telah mengatakan apa yang dia katakan.”

Mendengar ucapan Rasulullah itu, Abu Sufyan bin al-Harits yang membawa putranya berkata, “Demi Allah, Rasulullah mengizinkan aku atau aku akan membawa diriku dan anakku ini pergi ke suatu tempat hingga kami mati dalam keadaan kehausan atau kelaparan.”

Saat mengetahui keinginan Abu Sufyan, Rasulullah pun luluh. Mereka diizinkan masuk menemui beliau. Kemudian Abu Sufyan menggubah sebuah syair tentang keislamannya dan permohonan maafnya atas perbuatannya di masa lalu.

Dalam al-Maghazinya, al-Waqidi menyebutkan riwayat tentang keislaman Abu Sufyan bin al-Harits. Abu Sufyan berkata, “Siapa teman? Dan aku harusnya bersama siapa? Islam semakin dekat (semakin berkuasa). Segera Kutenemui istri dan anakku. Kukatakan pada mereka, ‘Ayo bersiap untuk pergi. Malam ini Muhammad akan sampai pada kalian’.

Mereka berkata, ‘Sekarang telah kau lihat, orang-orang Arab dan non Arab telah mengikuti Muhammad. Sementara kau masih saja memusuhinya. Semestinya engkau adalah orang yang paling terdepan membelanya!’

Kukatakan pada budakku, Madzkur, ‘Cepat siapkan onta dan kuda’. Kemudian kami pergi hingga sampai di Abwa. Saat sampai di perbatasan Abwa, aku menyamar karena merasa takut akan dibunuh. Darahku serasa menggeram. Aku pun keluar. Ternyata kudapati anakku, Ja’far, di hadapanku sejarak satu mil. Di pagi hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Abwa. Orang-orang menghadap dan menemui beliau satu per satu. Aku menyelinap ke kerumunan sahabatnya. Ketika tunggangannya mendekat, aku muncul di hadapannya. Saat kedua matanya menatapku, ia palingkan wajahnya dariku. Aku berupaya mengikuti kemana arah wajahnya berpaling. Tapi berkali-kali pula tetap ia palingkan wajahnya dariku. Aku coba dari arah dekat maupun jauh.

‘Aku telah terbunuh sebelum sampai padanya’, gumamku. Tapi aku teringat dengan kebaikan, sifat kasih, dan kekerabatannya denganku. Itulah yang menahanku. Aku yakin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan sangat bergembira dengan keislamanku. Karena aku kerabatnya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika kaum muslimin melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dariku, mereka semua juga turut berpaling. Ibnu Abu Quhafah (Abu Bakar) berpaling dariku. Kemudian kulihat Umar mengarahkanku pada seorang Anshar. Seorang menatapku dan berkata, ‘Hai musuh Allah, kamu kah orang yang menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya, hingga rasa permusuhanmu itu memenuhi antara timur dan barat?!’ Sambil mengangkat suaranya, ia ulang-ulang ucapannya itu padaku. Sampai aku merasa orang-orang senang dengan intimidasinya padaku’.

Abu Sufyan melanjutkan, ‘Aku pun menemui pamanku, Abbas. Kukatakan padanya, ‘Hai Abbas, sungguh aku berharap Rasulullah akan bergembira dengan keislamanku. Karena kedudukanku sebagai kerabat. Namun aku telah melihat responnya terhadapku. Tolong, bicaralah padanya agar ridha padaku’.

Abbas menjwab, ‘Demi Allah, tidak. Setelah kulihat responnya padamu, aku tak akan membahas tetangmu sepatah kata pun. Sungguh aku segan dengan wibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’.

Aku (Abu Sufyan) berkata, ‘Wahai paman, lalu kepada siapa lagi aku bersandar?’ ‘Itu urusanmu’, jawab Abbas.

Kemudian kutemui Ali -semoga Allah merahmatinya-. Aku bicara dengannya. Ia pun menjawab semisal jawaban Abbas. Lalu aku kembali menuju Abbas.

Kukatakan padanya, ‘Wahai paman, cukuplah untukku seseorang yang mencelaku tadi’. Ia berkata, ‘Coba jelaskan cirinya padaku?’ ‘Dia seorang yang berkulit sawo matang pekat. Pendek. Dan besar perutnya. Di antara kedua matanya terdapat tanda hitam’, kataku. ‘Itu adalah Nu’man bin al-Harits an-Najjari’, kata Abbas. Ia pun membawaku menemuinya. Abbas berkata, ‘Hai Nu’man, ini adalah Abu Sufyan. Putra dari paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan putra dari saudara laki-lakiku. Kalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, ia akan ridha. Berdamailah dengan dia (keponakanku ini)’. Setelah ketidak-pastian dan beratnya permasalahan yang kuhadapi, ternyata ia juga tak mau menerimaku. Ia berkata, ‘Aku tidak akan membawanya (menemui Rasulullah)’.”

Abu Sufyan berkata, “Aku pun keluar dan duduk di pintu rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau keluar hendak menuju Juhfah. Beliau tetap tidak berbicara denganku. Demikian juga, tak seorang pun dari kaum muslimin.

Setiap Nabi menyinggahi suatu rumah, aku senantiasa duduk di pintunya bersama anakku, Ja’far. Setiap Nabi melihatku, beliau selalu berpaling dariku. Demikian keadaanku terus-menerus. Hingga aku keluar bersamanya di hari Fathu Mekah. Aku berusaha selalu membersamainya sampai ia turun di suatu tempat yang banyak idkhirnya hingga ke tempat berkerikil. Aku mendekatinya dari pintu kemahnya. Ia memandang dengan pandangan yang lebih lembut dari sebelumnya. Aku berharap ia tersenyum. Kemudian wanita-wanita bani al-Muthalib menemuinya. Aku pun masuk bersama mereka dan bersama istriku yang telah memisahkan diri dariku. Kemudian Nabi keluar menuju masjid dan aku berada di hadapannya. Saat itu aku tidak berpisah darinya hingga ia keluar menuju Hawazin (Perang Hunain).

Aku pun berperang bersamanya. Orang-orang Arab berkumpul. Ini adalah sebuah perkumpulan yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka keluar dengan perempuan-perempuan dan anak-anak dalam keadaan berjalan. Saat kujumpai mereka, kukatakan, “Hari ini usahaku akan berhasil insyaallah. Saat terjadilah peristiwa seperti yang Allah firmankan,

ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

“Kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” [Quran At-Taubah: 25]

Saat orang-orang lari tercerai-berai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap teguh di atas bighalnya. Beliau dikepung pedang sementara pedangnya sendiri terampas. Kudaku ditikam. Bantingan pedang kutangkis dengan pedangku. Pelipis nabi terluka. Allahu a’lam.. Aku ingin mati dalam keadaan melindunginya. Kulihat ia menatapku. Sementara Abbas bin Abdul Muthalib mengambil tali kekang bighal beliau. Dan kugapai sisi lainnya. Nabi berkata, “Siapa ini?” Lalu kusingkapkan helm perangku. Abbas berkata, “Rasulullah, itu adalah saudara (sepersusuanmu), putra dari pamanmu. Ia adalah Abu Sufyan bin al-Harits. Ridhailah dia, wahai Rasulullah.” “Aku ridha padanya”, jawab Rasulullah. Allah telah mengampuni segala permusuhan yang dulu dilakukan Abu Sufyan.

Nabi menumpangi tungganganku kemudian menoleh padaku, beliau berkata, “Saudaraku.” Kemudian ia perintahkan Abbas, “Serulah! Hai ash-Habul Baqarah! Hai ash-Habul Samarah (yang berbaiat pada baiat ridhwan) hari Hudaibiyah! Hai Muhajirin! Hai Anshar! Hai Hazraj!” Mereka semua menjawab, “Kami penuhi panggilan penyeru Allah.” Orang-orang mengambil kembali baju besinya, pedangnya, dan tombaknya. Mereka tinggalkan tunggangan yang tak mau berbalik.

Aku (Abu Sufyan) tak lagi mengkhawatirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas ancaman mereka dan tombak-tombak mereka. Rasulullah berkata padaku, “Maju! Dan seranglah mereka! Aku pun maju dan menggusur musuh dari posisinya. Rasulullah mengiringiku menuju kumpulan musuh. Sampai akhirnya kami berhasil memukul mundur mereka.” (al-WaqidI: al-Maghazi 2/807-809).

Anak-Anak Abu Sufyan

Abu Sufyan memiliki beberapa orang istri. Ia menikah dengan Jumanah binti Abu Thalib. Darinya ia memiliki dua orang putra yang bernama Abdullah dan Ja’far. Ja’far inilah yang bersamanya saat ia memeluk Islam. Kemudian dua orang putri: Jumanah dan Hafshah. Hafshah ini dikenal juga dengan Hamidah (Ibnu Hajar: al-Ishabah, 8/63).

Ia juga menikah dengan Ummu Amr binti al-Muqawwim bin Abdul Muthalib. Seorang wanita dari kalangan kerabatnya, Bani Hasyim. Dari Ummu Amr, Abu Sufyan dikaruniai seorang putri yang bernama Atikah. Kemudian Atikah menikah dengan Mas’ud bin Mut’ib ats-Tsaqafi. Dari pasangan ini lahirlah seorang sahabat mulia yang bernama Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

Kemudian beberapa orang budak wanita. Seperti Umayyah, Ummu Abu al-Hayyaj, dan Ummu Kultsum.

Kedudukan Abu Sufyan

Awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan Abu Sufyan. Hal itu sebagai pelajaran atas apa yang ia lakukan. Sekaligus menguji kesungguhannya. Namun kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai sepupunya ini. Bahkan beliau mempersaksikan bahwa anak pamannya ini termasuk penghuni surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَبُو سُفْيَانَ بْنِ الْحَارِثِ سَيِّدُ فِتْيَانِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Abu Sufyan bin al-Harits adalah pemimpin pemuda surga.” (Ibnu Hajar: al-Ishabah 7/152).

Beliau juga bersabda,

أَرْجُو أَنْ يَكُوْنَ خَلَفًا مِنْ حَمْزَةَ

“Aku berharap ia sebagai pengganti Hamzah.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala 3/129).

Dikatakan bahwa orang-orang yang mirip dengan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ja’far bin Abu Thalib, Hasan bin Ali, Qatsam bin Abbas, dan Abu Sufyan bin al-Harits.” (Ibnu al-Atsir: Asad al-Ghabah 6/141).

Said bin al-Musayyib mengatakan bahwa Abu Sufyan shalat di musim panah hingga tengah hari. Sampai tiba waktu shalat sunnat makruh dilakukan. Kemudian ia shalat lagi setelah zuhur sampai ashar.” (Adz-Dzahabi: as-Siyar 3/129-130).

Saat hendak wafat, Abu Sufyan menghibur keluarganya dengan ucapannya, “Janganlah kalian tangisi aku. Sungguh aku tidak mengotori diriku dengan dosa sejak aku memeluk Islam.” (al-Qurthubi: al-Isti’ab 4/1675).

Jihad Abu Sufyan

Sejak awal keislamannya, Abu Sufyan segera mengejar ketinggalannya dalam beramal. Ia mulai membiasakan diri menikmati manisnya iman dan ibadah. Sehingga tak butuh waktu lama, ia pun menjadi seorang ahli ibadah, banyak sujud, dan seorang mujahid. Ia berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Fathu Mekah dan perang-perang setelahnya.

Pada Perang Hunain, ia benar-benar memperlihatkan kesungguhannya dan keberaniannya. Di saat orang-orang kocar-kacir karena serangan mendadak. Rasulullah tetap tegar sambil berkata,

إليَّ أيُّها الناس، أنا النبيُّ لا كذب، أنا ابن عبد المطلب

“Marilah bersamaku hai para pasukan. Aku ini seorang Nabi yang tidak berdusta. Aku ini putranya Abdul Muthalib.”

Dalam keadaan genting itu, Abu Sufyan bersama putranya Ja’far tetap setia mendampingi Nabi. Abu Sufyan meraih tali kekang tunggangan Nabi. Kemudian berhasil membunuh orang-orang musyrik yang mengepung Nabi. Saat keadaan mulai terkendali dan kaum muslimin kembali ke medan perang, Allah pun memberikan kemenangan untuk mereka. Saat debu peperangan tak lagi mengepul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangi orang yang memegang tali kekang kendaraannya. Beliau berkata, “Siapa ini? Saudaraku Abu Sufyan bin al-Harits?” Mendengar ucapan Rasulullah “Saudaraku”, rasa-rasanya jantung Abu Sufyan mau copot karena bahagia. Ia pun tersungkur bahagia dan mencium kedua kaki Rasulullah.

Seorang Penyair

Abu Sufyan adalah penyair Bani Hasyim. Sebelum Islam, gubahan syairnya bermuatan hinaan dan serangan terhadap Islam juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hasan bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata

أَلَا أَبْلِغْ أَبَا سُفْيَانَ عَنِّي … مُغَلْغَلَةً فَقَدْ بَرَحَ الْخَفَاءُ

هَجَوْتَ مُحَمَّدًا فَأَجَبْتُ عَنْهُ … وَعِنْدَ اللهِ فِي ذَاكَ الْجَزَاءُ

Maukah kau sampaikan pada Abu Sufyan risalah dariku. Hilanglah rahasia.
Kau serang Muhammad (dengan syair), kuberi jawab untuknya. Dan untuk itu di sisi Allah-lah pahala. (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 2/120).

Setelah Abu Sufyan memeluk Islam, ia menggubah syair berisikan permohonan maaf kepada Nabi atas apa yang telah ia lakukan sebelum Islam. Demikian juga saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ia menggubah syair. Mengungkapkan sedih yang ia rasakan.

أَرِقْتُ فَبَاتَ لَيْلِي لَا يَزُولُ … وَلَيْلُ أَخِي الْمُصِيبَةِ فِيهِ طُولُ

Kubersedih, kulalui malamku yang tak kunjung usai. Malamnya saudaraku adalah musibah panjangku.

وَأَسْعَدَنِي الْبُكَاءُ وَذَاكَ فِيمَا … أُصِيبَ الْمُسْلِمُونَ بِهِ قَلِيلُ

Tangis ini membahagiakanku. Karena sedikit umat Islam merasakan pilu.

فَقَدْ عَظُمَتْ مُصِيبَتُنَا وَجَلَّتْ … عَشِيَّةَ قِيلَ: قَدْ قُبِضَ الرَّسُولُ

Besar sekali musibah kami dan muluk. Siang berkata: telah wafat sang utusan.

فَقَدْنَا الوَحْيَ وَالتَّنْزِيْلَ فِيْنَا … يَرُوْحُ بِهِ وَيَغْدُو جِبْرَئِيْل

Terputuslah wahyu yang turun pada kami. Pergi bersamanya dan Jibril pun demikian.

وَذَاكَ أَحَقُّ مَا سَالَتْ عَلَيْهِ … نُفُوْسُ الخَلْقِ أَوْ كَادَتْ تَسِيْل

Itulah yang pantas pergi bersamanya. Nyawa makhluk atau hampir berlalu.

نَبِيٌّ كَانَ يَجْلُو الشَّكَّ عَنَّا … بِمَا يُوْحَى إِلَيْهِ وَمَا يَقُوْل

Seorang Nabi yang dulu menghapus keraguan kami. Dengan apa yang dia katakan dan wahyu.

وَيَهْدِيْنَا فَلاَ نَخْشَى ضَلاَلًا … عَلَيْنَا وَالرَّسُوْلُ لَنَا دَلِيْلُ

Dia tunjuki kami sehingga kami tak takut tersesat. Dan Rasul itu dalil untuk kami.

فَلَمْ نَرَ مِثْلَهُ فِي النَّاسِ حَيًّا … وَلَيْسَ لَهُ مِنَ المَوْتَى عَدِيْل

Tak pernah kami lihat manusia hidup yang sepertinya. Dan tidak ada pula semisalnya setelah mati. (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/103).

Wafat

Sebelum wafat, Abu Sufyan telah menggali liang kubur untuk dirinya sendiri. Ini menunjukkan bagaimana para sahabat menganggap kematian adalah kepastian dan perlu dipersiapkan. Sebelum wafat ia mengalami sakit. Sakit tersebut bermula saat ia pergi haji. Saat melakukan tahallul (cukur), kutil di kepalanya tergerus pisau cukur. Sejak itu ia jatuh sakit hingga mengantarkannya pada wafatnya. Ia wafat pada tahun 20 H. Jenazahnya dimakamkan di Baqi’. Ada pula yang mengatakan dimakamkan di rumah Aqil bin Abu Thalib. Umar bin al-Khattab mengimami shalat jenazahnya (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab, 4/1676). Semoga Allah meridhai Abu Sufyan bin al-Harits, sepupu sekaligus saudara sepersusuan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kisah Sahabat Abu Hurairah Al Dausy

Beliau adalah Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dausy Al-Yamany radiyallahu ‘anhu.

Ada banyak pendapat lainnya yang disebutkan para ulama perihal nama beliau dan nama ayahnya. Diantaranya bahwa nama beliau sebelum memeluk agama islam adalah ‘Abdusy Syams yang bermakna penyembah matahari, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti namanya menjadi ‘Abdullah. Sedangkan nama ayahnya disebutkan bernama ‘Amir, Namun riwayat yang lebih masyhur dan paling rajih bahwa nama beliau adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah dalam “Siyar A’lam An-Nubalaa 2/578”.

Beliau berasal dari negeri Yaman, suku Daus, olehnya nisbah beliau adalah Al-Yamany Ad-Dausy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Abu Hurairah, “Engkau berasal dari mana ?”, beliau menjawab, “Aku berasal dari suku Daus”, maka Rasulullah memberi kabar baik dengan sabdanya, “Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa akan ada seseorang yang memiliki kebaikan sepertimu dari suku Daus.”

Abu Hurairah pernah berkata kepada para sahabat, “Mengapa kalian memanggilku dengan kuniyah Abu Hurairah ? padahal Rasulullah telah memanggilku dengan sebutan “Abu Hirr”. Para sahabat radiyallahu ‘anhum memang lebih sering memanggil beliau dengan julukan Abu Hurairah, sebab beliau punya kebiasaan bermain dengan beberapa anak kucing peliharaannya selagi ia menggembalakan kambing-kambing milik keluarganya.

Keislamannya:

Beliau telah memeluk agama islam semenjak masih berada di negeri Yaman. Keislaman beliau setelah pulangnya pemimpin suku Daus Thufail bin ‘Amr dari kota Madinah dan menyebarkan islam di negeri Yaman. Pada tahun ketujuh hijriyyah, Abu Hurairah akhirnya melakukan hijrah ke kota Madinah untuk berbakti terhadap agama Allah subhanahu wata’ala.

Ketika beliau datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat telah berangkat menuju peperangan khaibar. Kota Madinah yang saat itu sedang kosong, diamanahkan kepada sahabat Siba’ bin ‘Urfuthah yang juga menjadi imam sholat rawatib di masjid nabawi. Abu Hurairah tiba tepat ketika sholat subuh didirikan, maka Siba’ membaca surah Maryam pada raka’at pertama, dan surah Al-Muthoffifin pada raka’at kedua. Usai melaksanakan sholat, Abu Hurairah bergumam, “Celakalah ayahku, karena sangat sedikit dari pedagang di kampung melainkan mereka pasti memiliki dua timbangan penakar, satu untuk keuntungan dirinya, dan yang satu dipakai untuk menipu para pembeli.”

Bentuk Fisik, Akhlak, dan Kehidupannya:

Beliau adalah seorang yang berperawakan baik dan lembut, tubuhnya bidang, rambutnya dikepang dua, janggutnya berwarna merah semir. Dilihat dari keadaannya, setiap orang akan tahu bahwa beliau adalah orang yang tidak memiliki harta. Beliau memang hijrah ke kota Madinah dengan membawa bekal seadanya saja sebab ‘azam yang membulatkan tekadnya untuk hijrah adalah menuntut ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantara bekal yang beliau bawa adalah seorang budak yang seyogyanya akan beliau jual, namun di tengah perjalanan budak itu melarikan diri darinya.

Rumah beliau adalah masjid nabawi, ia tinggal bersama kurang lebih 70 orang ahlus suffah di dalamnya. Beberapa kali ia menggeliat bak orang gila atau kesurupan diantara mimbar Rasulullah dengan rumah ‘Aisyah atau yang dikenal dengan raudhah saat ini. Sahabat yang melihatnya kadang duduk di atas dadanya hendak membacakan ayat-ayat ruqyah kepadanya, maka Abu Hurairah lekas mendongak dan berkata, “Aku seperti ini karena rasa laparku.”

Guru-gurunya:

Tentu saja guru beliau yang paling mulia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Guru dari seluruh guru, penghulu para Nabi dan Rasul Allah subhanahu wata’ala.

Hidup di masjid nabawi memiliki keutamaan yang sangat besar bagi beliau. Beliau dapat mengikuti majelis-majelis ilmu Rasulullah, mendengarkan arahan dan nasehatnya, serta bertanya kepada Rasulullah. Namun beliau tidak membatasi diri dengan hanya menimba ilmu dari Rasulullah, sebab telah lewat masa perjuangan yang panjang dalam sejarah islam sedang Abu Hurairah tak berada di sana. Maka selama 4 tahun hidup bersama Rasulullah, Abu Hurairah terus fokus mempelajari Al Quran dan Hadits, serta bertanya kepada para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, ‘Aisyah, Al-Fadhl bin ‘Abbas, Bashrah bin Abi Bashrah, dan Ka’ab Al-Habr. Hingga beliau mendulang ilmu yang lebih banyak dibandingkan sahabat lainnya bahkan tak seorangpun melebihi ilmu beliau.

Murid-muridnya:

Dengan membawa ilmu yang sangat banyak tersebut maka bukan sebuah hal yang mengherankan apabila beliau menjadi menara ilmu yang dituju oleh para sahabat sendiri dan tabiin yang datang setelah mereka. Berkata Imam Bukhari rahimahullah, “Jumlah murid beliau melebihi 800 orang.”

Menuntut Ilmu dan Khidmat Kepada Hadits:

Abu Hurairah juga digelar sebagai “Rawiyatul Islam” atau perawi agama islam karena beliau meriwayatkan hadits yang sangat banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan terbanyak dari seluruh sahabat dengan jumlah 5.374 hadits. Menjadi tongkat estafet pertama yang menukilkan secara langsung syariat islam dan secara khusus hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para ulama yang datang setelahnya. Tentu saja hal ini adalah khidmat dan kontribusi terbesar yang pernah dilakukan oleh seorang ulama hadits

Para sahabat sendiri merasa keheranan dengan hapalan hadits yang dimiliki oleh Abu Hurairah. Maka beliau menjelaskan, “Bahwa ketika orang-orang Muhajirin sibuk dengan ladang mereka, dan orang-orang Anshar sibuk dengan perniagaan mereka, di awktu yang sama aku justru sibuk dengan hadits Rasulullah, aku hadir dalam majelis beliau di saat mereka tak ada”. Memang semangat beliau dalam menuntut ilmu tidak ada duanya, hingga Rasulullah mempersaksikan hal tersebut ketika Abu Hurairah bertanya kepada beliau tentang orang yang paling berbahagia dengan syafaatnya, maka Rasulullah bersabda:

“Sungguh Aku telah mengira wahai Abu Hurairah bahwa tidak akan ada seorangpun yang mendahuluimu untuk bertanya tentang hal tersebut karena semangatmu dalam mempelajari ilmu hadits. Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan kalimat tauhid, tulus ikhlas dari dirinya.” (HR. Bukhari nomor 99)

Abu Hurairah yang miskin dan memfokuskan dirinya pada ilmu dengan menghapal serta murajaah di masjid nabawi juga mendapatkan karunia doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mustajab. Seperti permintaan Abu Hurairah kepada Rasulullah untuk diajarkan ilmu yang diberikan Allah kepadanya, lalu Rasulullah menyobek sedikit kain pakaian Abu Hurairah dan membentangkannya, kemudian Rasulullah menyampaikan sebuah kalimat untuk dihapalkan Abu Hurairah, keesokan harinya Abu Hurairah dapat menghapal semua hadits Rasulullah tanpa kesalahan sedikitpun.

Berdasarkan doa Rasulullah tersebut, maka para ulama menjadikan ajaibnya kekuatan hapalan Abu Hurairah sebagai salah satu bukti kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wafatnya:

Di akhir hidupnya setelah mengorbankan begitu banyak pengorbanan dan khidmat terhadap agama islam, Abu Hurairah jatuh sakit dan meninggal pada tahun 57 H di kota Madinah, dan dikuburkan di pekuburan Baqi’.

Kisah Sahabat Abu Dzar Al Ghifary (Jundub Bin Junadah)

Di lembah Waddan, sebuah tempat yang menghubungkan Mekkah dengan dunia luar, tersebutlah sebuah suku bernama Suku Ghifar. Suku ini hidup dari upeti yang diberikan oleh rombongan-rombongan dagang yang hilir mudik antara Syria dan Mekkah. Mereka akan menyerang rombongan-rombongan itu bilamana tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya.

Jundub bin Junadah, juga dipanggil Abu Dzar, adalah salah seorang anggota suku ini.

Orang ini dikenal karena keberanian dan ketenangannya, wawasannya yang jauh, juga karena kebenciannya atas penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang di antara sukunya. Ia menentang kepercayaan jahiliah dan cara-cara beragama yang melenceng di kalangan masyarakat Arab kala itu.

Tatkala ia berada di padang pasir Waddan, sampailah kabar kepadanya tentang sesosok Nabi baru dari Mekkah. Ia berharap kemunculan Nabi ini akan membawa perubahan dalam hati dan alam pikiran orang-orang dan sanggup mengangkat mereka dari kegelapan takhayul. Maka, tanpa membuang waktu lagi, dipanggillah Anis, saudaranya:

“Pergilah ke Mekkah dan carilah kabar sebanyak-banyaknya tentang orang yang mengaku Nabi ini dan tentang wahyu yang turun kepadanya. Dengarkan baik-baik apa yang diucapkannya lalu kembalilah, dan ceritakan semuanya kepadaku.”

Berangkatlah Anis ke Mekkah dan ditemuilah Sang Nabi, shalallahu alaihi wassalaam. Ia dengarkan baik-baik apa-apa saja yang diucapkannya, lalu ia pun kembali ke padang Waddan. Abu Dzar menemuinya, tak sabar ingin mendengarkan berita tentang Nabi.

“Di sana ada seorang lak-laki,” kisah Anis, “ia mengajak orang-orang kepada sifat-sifat mulia, tidak hanya dengan syair-syair.”

“Apa kata orang tentangnya?” tanya Abu Dzar.

“Mereka bilang ia penyihir, tukang ramal dan penyair.”

“Ini belum cukup bagiku. Maukah kau menjaga keluargaku selama aku pergi? Aku ingin menyelidikinya sendiri.”

“Baiklah. Tapi berhati-hatilah dengan orang-orang Mekkah.”

Sesampai di Mekkah, Abu Dzar sangat cemas dan merasa harus mengambil langkah waspada. Orang-orang Quraisy di Mekkah sedang marah karena penghinaan terhadap berhala-berhala mereka. Ia juga mendengar kabar tentang berbagai kekerasan yang dialami para pengikut Nabi ini dan situasi inilah yang memang harus ia hadapi. Lantaran tidak tahu siapa kawan siapa lawan, ia menahan diri untuk tidak bertanya kepada siapapun tentang Muhammad.

Saat senja menjelang, ia merebahkan tubuhnya di pelataran Masjidil Haram. Ali bin Abi Thalib r.a., tatkala melewatinya dan menyadari ada seorang asing di Masjid, mengajaknya untuk singgah ke rumahnya. Abu Dzar melewati malam bersama Ali dan ketika pagi hari tiba, ia bergegas meraih kantung air dan tas perbekalannya, kembali ke Masjidil Haram. Ia sama sekali tidak bertanya, juga tak seorang pun menanyakan tentangnya.

Abu Dzar menghabiskan hari itu tanpa memperoleh kabar apa-apa tentang Nabi. Begitu matahari tenggelam, ia kembali ke Masjidil Haram untuk tidur dan Ali sekali lagi melewatinya, seraya berkata:

“Tidakkah ini saatnya seseorang kembali ke rumahnya?”

Abu Dzar pun menemaninya dan menginap di rumah Ali di malam kedua. Lagi-lagi, tidak ada satu pun pertanyaan terlontarkan.

Namun di malam ketiga, Ali mulai bertanya kepadanya, “Maukah kau ceritakan padaku apa maksud tujuanmu ke Mekkah?”

“Hanya bila kau berjanji akan membawaku kepada apa yang kucari,” pinta Abu Dzar.

Ali setuju. Maka Abu Dzar pun lalu melanjutkan:

“Aku datang ke Mekkah dari tempat yang jauh hendak bertemu Nabi baru dan mendengarkan nasihatnya.”

Wajah Ali tampak berseri-seri, “Demi Tuhan, ia memang seorang Utusan Allah,” dan Ali pun melanjutkan bercerita tentang Nabi dan apa-apa saja yang diajarkannya. Lalu ia berkata:

“Selepas bangun di pagi hari nanti, ikutilah aku kemana aku pergi. Jika aku merasakan sesuatu yang membahayakan keselamatanmu, aku akan berhenti sejenak seperti hendak melompati genangan air. Jika kulanjutkan lagi langkahku, ikuti sampai aku masuk ke tempat di mana aku masuk.”

Abu Dzar tak bisa tidur pada malam itu karena tak sabar bertemu Nabi dan mendengarkan petuah-petuahnya. Tatkala pagi pun menjelang, diikutinya langkah-langkah Ali sampai ke tempat Nabi berada.

“Assalaamu ‘alaika yaa Rasulullah,” ujar Abu Dzar memberi salam.

“Wa ‘alaika salaamullahi wa rahmatullahi wa barakatuh,” jawab Nabi.

Abu Dzar adalah orang pertama yang memberi salam kepada Nabi dengan ucapan demikian. Setelah hari itu, ucapan salam ini pun menyebar dan dipakai secara luas di kalangan Muslim.

Nabi mempersilakan Abu Dzar dan mengajaknya untuk masuk ke dalam Islam. Nabi membacakan beberapa ayat Al-Qur’an kepadanya. Seketika itu pula, Abu Dzar mengucapkan Kalimah Syahadah dan memeluk agama baru ini. Ia adalah salah seorang dari generasi awal pemeluk Islam.

Kisah ini berlanjut dengan apa yang diceritakannya sendiri.

Setelah itu, aku tinggal bersama Nabi di Mekkah. Ia mengajariku tentang Islam dan membaca Al-Qur’an. Ia berkata kepadaku, “Jangan ceritakan kepada siapapun di Mekkah tentang agamamu ini. Aku khawatir mereka akan membunuhmu.”

“Demi yang menggenggam jiwaku di tangan-Nya, aku tak akan meninggalkan Mekkah sampai aku berdiri di Masjidil Haram dan mewartakan ajaran Kebenaran ini di tengah-tengah kaum Quraisy,” janji Abu Dzar.

Nabi terdiam. Aku pun beranjak pergi ke Masjidil Haram. Di sana, kaum Quraisy sedang duduk dan berbincang-bincang. Aku berjalan ke tengah-tengah mereka dan berteriak sekuat tenagaku, “Wahai kaum Quraisy, aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah!”

Ucapanku itu mengusik perhatian mereka. Seketika itu pula mereka menyerbuku, “Tangkap orang itu yang telah meninggalkan agamanya!” Mereka memukuliku sejadi-jadinya, dan betul-betul hendak membunuhku. Namun Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, ia mengenaliku. Ia merunduk dan melindungiku. Katanya di depan orang-orang:

“Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh seorang dari Suku Ghifar sementara rombongan kalian masih melewati wilayah mereka?”

Mereka pun melepaskanku. Lalu aku kembali ke tempat Nabi. Ketika ia melihat keadaanku, ia berkata, “Bukankah aku telah melarangmu untuk menceritakan keislamanmu di depan orang-orang?”

“Wahai Rasulullah,” jawabku, “ini adalah gejolak di dalam jiwaku dan kini aku telah memenuhinya.”

“Pergilah kepada kaummu,” perintah Nabi, “ceritakan apa yang telah kau lihat dan dengar. Undang mereka kepada ajaran Allah. Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepada mereka melaluimu, dan memberimu pahala melalui mereka. Nanti saat kau dengar aku telah membuka diri, datanglah kepadaku.”

Aku pun bergegas pergi dan menemui kaumku. Saudaraku menyambutku dan bertanya, “Apa yang telah kau lakukan?” Aku kabarkan kepadanya bahwa aku kini seorang Muslim dan percaya pada kebenaran yang dibawa oleh Muhammad.

“Aku tidak menentang agama barumu ini. Bahkan mulai kini aku pun seorang Muslim dan percaya kepada Muhammad,” sahutnya.

Kami bersama menemui ibu kami dan mengajaknya untuk memeluk Islam.

“Aku tidak ada masalah dengan agamamu. Aku pun memeluk Islam,” ujar ibuku.

Semenjak hari itu pula, keluarga Muslim ini tak henti-hentinya, tanpa kenal lelah, mengajak orang-orang Ghifar untuk memeluk ajaran Allah. Banyak orang dari suku ini kemudian menjadi kaum Muslim, bahkan sholat berjamaah pun didirikan di antara mereka.

Abu Dzar tetap berdiam di padang pasir sampai Nabi hijrah ke Madinah dan terjadi peperangan Badr, Uhud dan Khandaq. Di Madinah, Abu Dzar meminta Nabi agar diijinkan menjadi pelayannya. Nabi menyetujui dan senang atas ungkapan rasa persahabatan dan pelayanan itu. Rasulullah terkadang menunjukkan kesukaannya kepada Abu Dzar lebih dari sahabat-sahabat lainnya. Bilamana bertemu Abu Dzar, Nabi senantiasa menepuk dan tersenyum kepadanya, menunjukkan kebahagiaannya.

Setelah wafatnya Rasulullah, Abu Dzar tak kuasa tinggal di Madinah lantaran rasa duka dan kesadaran bahwa tak ada lagi orang yang membimbingnya. Ia pun pergi ke daerah tandus Syria dan tinggal di sana semasa kekhalifahan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.

Di masa kepemimpinan Utsman r.a., ia tinggal di Damaskus dan menyaksikan masyarakat Muslim yang mulai bersikap keduniawian dan cenderung bermegah-megahan. Sehingga ia pun berontak, lalu terusir. Maka, Utsman mengundangnya datang ke Madinah. Di Madinah, ia juga lantang mengkritik orang-orang di sekitarnya yang memburu kesenangan dunia, sehingga mereka pun membalas mencacinya. Karena situasi itu, Utsman memerintahkan agar ia pergi ke Rubdzah, sebuah desa kecil di dekat Madinah. Di sana, ia tinggal jauh dari orang-orang, sehingga tak lagi menghina mereka yang terjebak pada kehidupan dunia — dan bisa tetap berpegang teguh pada warisan asli Rasulullah dan para sahabatnya dalam merengkuh kehidupan Akhirat yang abadi, yang jauh lebih baik dari kehidupan dunia yang sementara ini.

Pernah suatu kali ada yang menengoknya dan mendapati di rumahnya hampir tidak ada apa-apa. Ia bertanya kepada Abu Dzar:

“Di mana barang-barang milikmu?”

“Kami punya rumah di seberang sana (maksudnya di Akhirat),” jawab Abu Dzar, “di sanalah kami menyimpan barang-barang kami.”

Orang itu memahami apa yang dimaksud, lalu menimpali:

“Namun engkau harus punya barang-barang selama tinggal di tempat ini.”

“Pemilik tempat ini tak ingin kami tinggal di dalamnya,” tukas Abu Dzar.

Abu Dzar sangat teguh dalam kehidupannya yang sangat sederhana dan zuhud sampai akhir hayatnya. Suatu kali seorang amir Syria mengiriminya tiga ratus dinar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dikembalikannya uang itu seraya berkata, “Tidakkah amir Syria menemukan seseorang yang lebih berhak daripada aku?”

Pada tahun 32 H, sang zahid Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya. Rasulullah SAW pernah berkata tentang beliau ini:

“Tak ada lagi di muka bumi dan di bawah naungan langit, orang yang lebih jujur dan teguh selain Abu Dzar

Kisah Sahabat Abu Darda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut era para sahabat sebagai sebaik-baik umat manusia. Sahabat adalah mereka yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wasallam, berjumpa dengan beliau dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan memeluk Islam.

Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in),” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barangsiapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itu adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198).

Salah satu sahabat Rasulullah yang patut diteladani adalah Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu. Abu Darda’ memiliki kebiasaan luar biasa yang dilakukan karena kasih-sayang dan kecintaan kepada para sahabatnya.

Abu Darda’ selalu mendoakan saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya ketika ia sedang bersujud. Ia tak mendoakan para sahabatnya secara umum, melainkan disebutkannya nama-nama para sahabatnya satu persatu. Bahkan disebutkannya juga nama bapak-bapak para sahabatnya itu.

Itulah bentuk kasih-sayang dan kecintaan seorang sahabat Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam kepada orang-orang yang disebutnya sebagai sahabat. Sebuah kebiasaan yang seyogianya ditiru untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam.

Abu Darda’ bernama Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin Khazraj. Ada yang berpendapat, namanya adalah Amir bin Mâlik, sedangkan Uwaimir adalah julukannya. Ibunya bernama Mahabbah binti Wâqid bin Amir bin Ithnâbah.

Beliau termasuk Sahabat yang akhir masuk Islam. Akan tetapi, beliau termasuk Sahabat yang bagus keislamannya, seorang faqih, pandai dan bijaksana. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakannya dengan Salman al-Fârisi radhiyallahu ‘anhu. (Fath)

Kisah Sahabat Abu Al Ash Bin Ar-Rabi

Abul Ash bin Rabi’ Al-Absyami Al-Quraisyi adalah seorang pemuda kaya, rupawan dan mempesona setiap orang yang memandangnya. Dia bergelimang dalam kenikmatan, dengan status sosial yang tinggi sebagai bangsawan.

Ia mewarisi dari kaum Quraiys bakat dan keterampilan berdagang pada dua musim; musim dingin dan musim panas. Kendaraannya tidak pernah berhenti pergi dan pulang antara Makkah dan Syam. Kafilahnya mencapai 200 orang personil dan 100 ekor unta. Masyarakat menyerahkan harta mereka kepadanya untuk diperdagangkan.

Khadijah binti Khuwailid, isti Rasulullah, adalah bibi Abul Ash. Khadijah menganggapnya seperti anak kandung sendiri. Ia ditempatkan di rumahnya dengan penuh kasih sayang. Begitu juga kasih sayang Rasulullah tidak kurang dari sayang Khadijah.

Setelah cukup usia, Abul Ash menikah dengan Zainab, putri Rasulullah. Namun ketika beliau menerima wahyu dan diutus sebagai Rasul, Abul Ash enggan beriman. Ia tetap setia dengan agama nenek moyangnya. Walau demikian, ia tetap mencintai istrinya, Zainab binti Muhammad SAW.

Ketika pertentangan antara Rasulullah dan kaum kafir Quraiys semakin meningkat, mereka saling menyalahkan sesamanya. Mereka meminta Abul Ash menceraikan Zainab dan mengembalikannya kepada orang tuanya. Namun Abul Ash menolak, ia tetap mencintai istrinya dan tak mau menceraikannya.

Sementara itu, dua orang putri Rasulullah yang lain; Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai oleh suami masing-masing. Rasulullah gembira menerima kembalinya dua orang putrinya itu. Bahkan beliau berharap Abul Ash melakukan hal yang sama terhadap Zainab. Namun beliau tak kuasa untuk memaksakan keinginannya. Apalagi waktu itu, hukum Islam belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik.

Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, kaum Quraiys memerangi beliau di Badar. Abul Ash terpaksa ikut berperang di pihak Quraiys, memerangi Rasulullah dan kaum Muslimin. Atas pertolongan Allah, kaum Muslimin menang di Badar, dan Abul Ash pun menjadi tawanan.

Rasulullah mewajibkan setiap tawanan menebus diri mereka jika ingin bebas. Beliau menetapkan besar uang tebusan itu antara 1.000-4.000 dirham, sesuatu dengan kedudukan dan kekayaan sang tawanan di kaumnya.

Zainab juga mengirim utusan ke Madinah untuk menebus suaminya. Dalam uang tebusan yang ia kirim terdapat sebuah kalung pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwailid.

Melihat kalung itu, wajah Rasulullah berubah sedih. Beliau menoleh kepada para sahabat seraya berkata, “Harta ini dikirim Zainab untuk menebus suaminya, Abul Ash. Jika kalian setuju, kuharap bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali kepadanya!”

“Baik, ya Rasulullah,” jawab para sahabat.

Rasulullah membebaskan Abul Ash dengan syarat dia segera mengantarkan Zainab kepada beliau. Maka ketika tiba di Makkah, Abul Ash segera mempersiapkan diri untuk memenuhi janjinya kepada Rasulullah. Ia memerintahkan istrinya agar bersiap-siap melakukan perjalanan jauh ke Madinah. Para utusan Rasulullah menunggu tidak jauh di luar kota Makkah.

Setelah berpisah dengan istrinya, Abul Ash tetap tinggal di Makkah hingga menjelang pembebasan kota Makkah. Dia tetap berdagang ke Syam seperti yang biasa dilakukannya.

Pada suatu hari dalam perjalanan pulang ke Makkah, kafilahnya dicegat oleh pasukan patroli Rasulullah di tengah jalan dekat kota Madinah. Unta-unta dan barang muatan dirampas, para pengiringnya ditawan. Mujur bagi Abul Ash, ia berhasil lolos dan melarikan diri.

Menjelang malam, ia memasuki kota Madinah dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati. Sampai di kota dia mendatangi rumah Zainab dan meminta perlindungan. Zainab pun melindunginya.

Tak lama kemudian Rasulullah menemui Zainab dan berkata, “Hormatilah Abul Ash. Tetapi ketahuilah, kamu tidak halal lagi baginya!”

Abul Ash dibebaskan oleh Rasulullah. Seluruh hartanya dikembalikan lagi. Ia pun berangkat ke Makkah, membawa kafilah dan barang dagangan kaum Quraiys. Sampai di Makkah ia melunasi semua kewajibannya kemudian berkata, “Wahai kaum Quraiys, adakah orang yang belum menerima pembayaran dariku?”

“Tidak. Semoga Tuhan memberi balasan kepadamu dengan balasan yang lebih baik,” jawab mereka.

“Sekarang ketahuilah,” kata Abul Ash. “Aku telah membayar hak kalian masing-masing. Maka kini dengarkan, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad sesungguhnya utusan Allah. Demi Allah, tidak yang menghalangiku untuk menyatakan berislam kepada Muhammad ketika berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku seandainya kalian menyangka aku masuk Islam karena memakan harta kalian. Kini setelah Allah membayarnya kepada kalian semua dan tanggungjawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.”

Abu Ash keluar dari Makkah dan menemui Rasulullah di Madinah. Beliau menyambut kedatangannya dan menyerahkan Zainab kembali padanya. Rasulullah bersabda, “Dia berbicara kepadaku, dan aku memercayainya. Dia berjanji kepadaku, dan dia memenuhi janjinya.”

Kisah Sahabat Abdurrahman Bin Auf

Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW dikelilingi oleh para sahabat yang luar biasa. Tanpa keraguan, mereka senantiasa mendukung dakwah Rasulullah, baik lewat harta, waktu, maupun tenaga.

Para sahabat Nabi juga dikenal dengan kecerdasan, kekuatan, serta kedermawanan yang luar biasa. Salah satunya Abdurrahman bin Auf bin. Pria yang lahir 10 tahun setelah Tahun Gajah itu termasuk orang pertama yang memercayai Nabi Muhammad lalu masuk Islam.

Sebelum memeluk Islam, nama aslinya Abdul Ka’bah atau Abd Amr dalam riwayat lain. Kemudian, setelah bergabung dengan kaum Muslimin, Rasulullah menggantinya dengan Abdurrahman. Sejarah mengenalnya sebagai sahabat Nabi paling kaya raya sekaligus dermawan.

Abdurrahman pernah mengeluar kan 200 uqiyah emas (1 uqiyah setara 31,7475 gram) demi memenuhi kebutuhan logistik selama Perang Tabuk. Saat Nabi Muhammad menyeru kepada umat Islam untuk berinfak di jalan Allah, Abdurrahman pun tanpa pikir panjang langsung menyumbangkan separuh hartanya.

Dia pun pernah memberikan santunan kepada veteran Perang Badar yang jumlanya mencapai seratus orang, masing-masing mendapatkan santunan 400 dinar. Abdurrahman memang sangat pandai dalam berbisnis. Semua kekayaannya pun merupakan hasil perdagangan.

Ketika para sahabat hijrah ke Madinah atas perintah Rasulullah, kaum Anshar rela berbagi harta kekayaan mereka dengan para Muhajirin. Akan tetapi, saat itu Abdurrahman menolak harta dari sahabat Anshar, ia justru bertanya lokasi pasar. “Tolong tunjukkan padaku di mana arah pasar?” katanya.

Konon, Abdurrahman memiliki tangan emas, sebab semua bisnis atau perdagangan yang dikelolanya pasti berhasil. Walau demikian, Abdurrahman tidak hanya berdakwah lewat harta. Ia juga berpartisipasi dalam beragam peperangan, mulai Perang Uhud hingga Perang Badar.

Dia mendapatkan 21 luka pada Perang uhud. Ada luka yang menyebabkan kakinya pincang serta dua gigi serinya tanggal. Kontribusinya dalam menegakkan agama Allah memang amat total. Maka, tak heran bila namanya menjadi salah satu dari 10 orang yang dijanjikan surga.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Sepuluh orang di surga: Abu Bakar di surga, Umar di surga, Ali, Uts man, Az Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaydah bin Al Jaraah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.” Lalu, para sahabat bertanya, “Demi Allah, siapakah yang kesepuluh?” Rasulullah menjawab, “Abu Al A’war di surga.”

Ketika akan wafat, Abdurrahman menangis. Tangisannya bukan karena takut menghadapi kematian, melainkan karena ia wafat dalam keadaan kaya harta. “Sesungguhnya, Mush’ab bin Umair lebih baik dariku. Ia meninggal di masa Rasulullah dan ia tidak memiliki apa pun untuk dikafani.

Hamzah bin Abdul Muthalib juga lebih baik dariku. Kami tidak mendapatkan kafan untuknya. Sesungguhnya, aku takut bila aku menjadi seseorang yang dipercepat kebaikannya di kehidupan dunia. Aku takut ditahan dari sahabatsahabatku karena banyak hartaku,” tutur Abdurrahman.

Sahabat Nabi ini wafat di Madinah pada 31 Hijriyah, ada pula yang mengatakan pada 32 Hijriyah. Ketika itu, usianya 75 tahun, tapi ada juga yang menyebutkan 72 tahun. Pada riwayat lain disebutkan 78 tahun.

Kisah Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum

Abdullah bin Ummi Maktum adalah sepupu istri Rasulullah Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Qays bin Zaid. Ibunya adalah Atikah binti Abdullah. Dia disebut Ummi Maktum (ibu yang tersembunyi) karena dia melahirkan anak difabel.

Abdullah menyaksikan bangkitnya Islam di Makkah. Dia termasuk orang pertama yang menerima Islam. Dia hidup ketika Islam disebarkan dengan sembunyi-sembunyi. Ketika itu umat Islam mendapatkan diskriminasi dan perlawanan yang hebat dari masyarakat Arab jahiliyah.

Namun, meskipun umat Islam ketika itu mengalami tekanan hebat, Abdullah pantang menyerah. Dia tegas dan gigih dalam melakukan perlawanan dan pengorbanan. Meskipun mendapatkan kekerasan dari bangsa Quraisy, keyakinannya tidak per nah melemah. Ujian yang dihadapi justru meningkatkan tekadnya untuk berpegang membela agama Allah dan Rasulullah.

Abdullah mengabdikan diri kepada Nabi. Sejak memeluk Islam dia sangat ingin menghafal Alquran. Setiap ada waktu senggang dia memanfaatkan waktu tersebut untuk menghafal wahyu Allah. Karena antusias mendalami Alquran, beberapa sahabatnya menyimpan rasa iri. Mereka mempertanyakan, mengapa Rasulullah sangat memperhatikan Abdullah? Apa manfaat menghafal Alquran? dan banyak lagi pertanyaan lain.

Jawabannya ada pada kisah berikut ini. Di masa awal berdakwah, Rasul fokus mengislamkan penduduk Quraisy. Suatu hari, dia bertemu Utbah bin Rabiah dan saudaranya Shay bah, Amr bin Hisyam lebih dikenal sebagai Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf dan Walid bin Mughirah, ayah dari Khalid bin Walid yang kemudian dikenal sebagai Sayfullah atau ‘pedang Tuhan’.

Rasul sudah mulai berbicara dan berdiplomasi dan memberitahu mereka tentang Islam. Dia sangat berharap bisa mengajak mereka memeluk Is lam. Masyarakat Quraisy diharapkan menanggapi dakwahnya secara positif dengan menerima Islam atau setidaknya menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat Nabi.

Sementara negosiasi dilakukan, Abdullah bin Ummu Maktum datang dan memintanya untuk membaca sebuah ayat Alquran. “Wahai utusan Allah,” katanya, “ajari aku dari apa yang telah Tuhan ajarkan kepadamu.” Namun Rasul tidak menghiraukannya.

Nabi mengerutkan kening dan berpaling darinya. Dia mengalihkan perhatiannya ke kelompok orang Quraisy yang prestisius, dengan harapan mereka akan menjadi Muslim. Dengan bersyahadat, mereka akan membawa kebesaran tauhid dan memperkuat misinya.

Segera setelah dia selesai berbicara dengan mereka dan pergi, tiba-tiba Rasul merasa pandangannya kabur dan kepalanya terasa sakit. Kemudian wahyu Allah turun, yaitu 16 ayat surah Abasa. Enam belas ayat ini diwahyukan kepada Rasul terkait tentang Abdullah bin Ummi Maktum.

Sejak hari itu Nabi tidak berhenti untuk bermurah hati kepada Abdullah, untuk bertanya kepadanya terutama mengenai kebutuhan hidup. Kapan pun dia mendekat, maka Rasul selalu mendahulukannya.

Saat orang Quraisy semakin kejam kepada Rasul dan pengikutnya, Allah kemudian memerintahkan mereka berhijrah. Abdullah bergegas menyiapkan diri untuk hijrah. Dia dan Mus’ab ibn Umair adalah rombongan sahabat pertama yang mencapai Madinah.

Menjadi muazin

Begitu sampai di Yatsrib, dia dan Mus’ab mulai berdiskusi dengan orang-orang, membaca Alquran mereka dan mengajarkan kepada mereka agama Allah. Saat tiba di Madinah, Nabi menunjuk Abdullah dan Bilal bin Rabah untuk menjadi muazin, melaksanakan shalat lima kali sehari, memanggil manusia untuk melakukan tindakan terbaik, dan memanggil mereka menuju kesuk sesan.

Bilal akan memanggil adzan dan Abdullah akan mengucapkan iqamah untuk shalat. Terkadang mereka bertukar posisi. Selama bulan Ramadhan, mereka mengadopsi rutinitas khusus. Salah satu dari mereka mengumandangkan azan untuk membangunkan orang sampai makan sebelum puasa dimulai.

Sedangkan yang lain akan mengumandangkan azan untuk mengumum kan awal fajar dan puasa. Bilal yang membangunkan orang-orang dan Abdullah bin Ummi Maktum yang akan mengumumkan awal subuh.

Menjaga Madinah

Salah satu tanggung jawab yang diberikan Nabi kepada Abdullah bin Umm Maktum adalah menjaga Madinah ketika Rasulullah tidak ada. Hal ini dilakukan lebih dari sepuluh kali, salah satunya saat dia pergi untuk membebaskan Kota Makkah.

Kemudian setelah pertempuran Badar, Nabi menerima sebuah wahyu dari Tuhan yang menaikkan status mujahidin dan lebih memilih mereka daripada qa’idin (mereka yang tetap tidak aktif di rumah). Ini untuk mendorong mujahid lebih jauh lagi dan memacu qa’id melepaskan ketidakaktifannya.

Wahyu ini sangat mempengaruhi Abdullah bin Ummi Maktum. Dia merasa iri karena tidak dapat berjihad bersama lainnya sehingga mendapatkan penghargaan lebih tinggi. Dia berkata: “Wahai utusan Tuhan, jika saya bisa terus berjihad, tentu saja saya pasti melakukannya.”

Dia kemudian dengan sungguh-sungguh meminta Tuhan untuk menurunkan sebuah wahyu tentang kasus istimewanya dan orang-orang seperti dia yang dicegah karena ketidakmampuan mereka untuk berperang.

Doanya dijawab. Wahyu tambahan pun diturunkan untuk membebaskan kewajiban berperang bagi orang difabel Surah An Nisa ayat 95. Meskipun demikian karena tak wajib berperang, tidak lantas membuatnya berpuas diri. Dia berkata: “Tempatkan saya di antara dua baris dan beri saya standarnya.

Saya akan membawanya untuk Anda dan melindunginya, karena saya buta dan tidak dapat melarikan diri.” Pada tahun keempat belas setelah hijrah, Umar memutuskan untuk melakukan serangan besar terhadap orang-orang Persia untuk menjatuhkan negara mereka dan membuka jalan bagi pasukan Muslim.

Jadi dia menulis surat kepada gubernurnya: “Kirimkan barang dengan senjata atau kuda atau yang bisa menawarkan bantuan apa pun kepada saya.”

Massa umat Islam dari segala arah menanggapi seruan Umar dan berkumpul di Madinah. Di antara semua ini adalah mujahid difabel, Abdullah bin Umm Maktum. Umar menunjuk komandan Sa’d bin Abi Waqqas ke arah tentara, memberinya instruksi dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya.

Ketika tentara mencapai Qadisiyyah, Abdullah bin Umm Maktum tampil, mengenakan mantel baju besi dan benar-benar siap. Dia telah bersumpah untuk membawa dan melindungi kaum Muslimin atau terbunuh dalam prosesnya. Pasukan Islam dan lawan berhadap-hadapan dan bertempur selama tiga hari.

Pertempuran itu termasuk yang paling sengit dan pahit dalam sejarah penaklukan Muslim. Pada hari ketiga, kaum Muslim mencapai kemenangan besar karena salah satu kerajaan terbesar di dunia runtuh dan salah satu tahta yang kuat terjatuh.

Dakwah tauhid dibesarkan di tanah berhala. Harga kemenangan yang jelas ini adalah ratusan martir. Di antaranya adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia ditemukan gugur di medan perang yang mencengkeram bendera kaum muslimin.